Setelah sering kali timbal membara itu menancap pada target-target salah. Menembus benak anak buah. Merobek dada rekan sejawat.
Tak hanya itu. Pelindung warga sipil itu biasanya membuat lubang pada daging tulang kering penjahat kambuhan, yang kedua tangannya rapat ke belakang diikat borgol besi (bukan yang ditambat longgar dengan cable ties), menggunakan logam yang dilesakkan dengan energi kinetik berkecepatan tinggi. Berdalih, "residivis berusaha melarikan diri!"
Polisi, yang untuk kepentingan penghalusan disebut oknum, mengosongkan selongsong ke udara, kepada tubuh tak berdaya, dan pada tembok kedap suara.
Mereka, ia, dan siapa saja yang boleh disebut oknum melakukan penembakan, tidak lain dan tidak bukan, demi melepaskan nafsu amarah nyaris meledak di dada. Melumpuhkan akal sehat dan menumpulkan latihan kedisiplinan selama bertahun-tahun.
Tapi jangan keburu kecewa, atau bahkan gembira. Bahwa kebijakan tersebut terjadi di wilayah kekuasaan berbeda. Di mana mencari keberadaan negara itu akan membuat mata kelilipan ketika mencarinya di peta. Jadi, tinggalkan sejenak.
Bosan dengan peristiwa itu-itu saja menyangkut hal serupa selama berbulan-bulan, maka otoritas di negara itu menerbitkan keputusan tegas. Sangat tegas. Demikian tegas sehingga tiada satu pun pemimpin negara dunia berani menirunya.
Begini. Pada suatu siang yang panas, pemerintah setempat memaklumatkan bahwa terhitung sejak saat pengumuman sampai dengan kurun tak terbatas, perlengkapan polisi yang berpotensi melukai dan mematikan itu dimusnahkan secara bertahap.
Maka persenjataan dihapus tersebut akan meliputi: senapan laras panjang, senapan otomatis, mitraliur, senjata api genggam, bahkan pisau sangkur.
Diganti dengan pistol mainan dibikin dari bahan berkualitas dan dijamin serupa dengan wujud aslinya. Peluru terbuat dari karet busa, sehingga tidak bakalan melukai sasaran sekalipun ditembakkan dalam jarak dekat.
Maksud pengadaan pistol mainan bermutu tinggi agar para polisi masih memiliki alat pencegah terhadap gelagat jahat. Dan toh sebenarnya polisi bergerak di lingkungan warga sipil. Mengayomi, membina yang bukan membinasakan, dan mencegah kejahatan terjadi.
Lagi pula, semua aparat polisi dilatih agar berkemampuan fisik mumpuni. Juga diasah keterampilan bela diri. Dengan itu, ia dapat menumbangkan orang biasa tanpa kesulitan berarti.
Tidak ada alasan cukup untuk melengkapi mereka dengan senjata api berpeluru logam.
Masyarakat menyambut gembira. Meski investigasi kasus polisi atasan tembak polisi bawahan belum kelar-kelar (sampai bosan membaca opini-opini tidak jelas mengenai kisah bak sinetron tersebut), peristiwa saling tembak di kesatuan pengamanan warga sipil itu sirna.
Tidak ada lagi kasus polisi tembak polisi. Tidak ada lagi berita tentang penembakan terhadap penjahat kambuhan yang seolah-olah kabur dari penangkapan. Yang jelas, tidak ada lagi skenario asal-asalan yang dibuat untuk menutup-nutupi kejadian sebenarnya.
Tenang. Aman. Tidak ada gejolak yang laris untuk menjadi berita viral.
***
Pada satu tempat paling tersembunyi di dalam hutan paling lebat di negara itu, sekelompok barisan sakit hati, seusai berlatih bela diri, menajamkan peralatan.
Perkakas terdiri dari: pisau dapur diperkuat yang kemudian diasah sampai mengkilap; golok berujung runcing terbuat dari per mobil; tiruan keris dengan pinggiran bergerigi, sehingga saat menembus lambung lawan begitu ditarik isi perut ikut keluar; tombak bambu atau kayu panjang, pada ujungnya terikat kuat dengan tali rotan sebuah baja pipih yang runcing dan tajam; serta benda-benda yang mampu merunjam dan menikam musuh dengan saksama.
Sebagian kecil dengan menggunakan gergaji besi, alat bor, mesin las, dan ampelas merakit senapan yang berfungsi melontarkan peledak bersumbu. Bungkusan dibuat cukup besar, sehingga ketika meledak: "blaaar...!!!" Tubuh lawan akan terbang ke angkasa serupa daging cincang.
Jumlah gerombolan itu mungkin lebih dari seratus ribu. Terdiri dari mantan penjahat kambuhan, baik yang kakinya sudah sembuh ataupun yang tidak sempat tertembak peluru polisi, bersatu padu.
Mereka adalah penjahat jempolan dengan umumnya hendak membalaskan dendam kesumat sampai ubun-ubun kepada para polisi.Â
Tiada lagi langkah yang membuat mereka surut. Tiada lagi petugas bersenjata yang menjadikan mereka takluk. Tekad sudah bulat tanpa ada sedikit pun bocor yang membuat semangat ciut.
Dengan perhitungan matang meminimalkan peluang gagal, pada waktu telah ditentukan mereka berangkat. Mengendap-endap, tanpa suara, tiada satu orang pun tahu kecuali mereka sendiri, pasukan penjahat berbadan tegap dengan senjata lengkap mengelilingi markas besar polisi.
Sebuah seruan menjadi pertanda agar bergerak serentak, kompak, dan mendadak, "serbuuuuuu.....!!!"
Di bawah langit biru, debu beterbangan mengiringi langkah-langkah kaki menyerbu dengan bermacam senjata tajam dan pelontar peledak.
Para penjaga markas terperanjat. Membunyikan tanda bahaya. Pandangan para polisi berkeliling: ribuan wajah beringas berlari mendatangi!
Polisi, baik yang berkostum lengkap maupun masih mengenakan singlet bercelana pendek mengambil senjata.
Masing-masing mengarahkan pistol. Serentak mereka menyentak kokang. Telunjuk-telunjuk menarik picu.
"Cekrak, cekrek, cekrak, cekrek..., " peluru-peluru karet busa melesat. Beterbangan melalui debu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H