Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Cara Jitu PNS Ini Mengatasi Hambatan Modal Usaha

6 Juli 2022   05:48 Diperbarui: 6 Juli 2022   05:50 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang penjual masakan matang (dokumen pribadi)

Dengan strategi jemput bola berinisiatif menghampiri pembeli dan menawarkan produk. Tidak perlu lagi menunggu warung, menanti pembeli datang.

Bentangan alam terbuka dengan lapangan hijau. Sebuah tujuan favorit warga untuk berolahraga, berburu kuliner, berswafoto di spot instagramable, dan tentunya, nongkrong menghirup udara segar.

Lapangan Sempur Kota Bogor adalah tujuan perjalanan pada hari Sabtu pekan kemarin. Jarak dari rumah dua kilometer kurang.

Pagi cerah menemani perjalanan kaki. Menyusuri trotoar lebar di tepi jalan Sudirman. Melintasi trek setapak yang menurun curam. Menyeberangi jembatan gantung.

Jembatan gantung Lebak Kantin – Sempur (dokumen pribadi)
Jembatan gantung Lebak Kantin – Sempur (dokumen pribadi)

Titian besi menghubungkan Lebak Kantin menuju Sempur menyeberangi Sungai Ciliwung. Konstruksi tidak ditopang tiang-tiang penyangga, tetapi Sling atau kawat baja.

Baca juga: Sungai Harapan

Sling baja penahan jembatan di Lebak Kantin (dokumen pribadi)
Sling baja penahan jembatan di Lebak Kantin (dokumen pribadi)

Oleh karena itu, saat menapakinya terasa mentul-mentul. Apalagi bila sepeda motor melintas atau anak-anak berlarian.

Jembatan berayun di atas kali yang airnya berwarna cokelat, mengalir deras menabrak batu-batu.

Sungai Ciliwung (dokumen pribadi)
Sungai Ciliwung (dokumen pribadi)

Lapangan Sempur

Sejak beberapa ratus meter sebelum tiba di hamparan hijau terbuka itu, berderet-deret mobil menepi. Sekitar lapangan lebih banyak digunakan untuk parkir kendaraan roda dua.

Ramai dipadati orang berolahraga di atas jogging track berwarna biru. Area kuliner di sebuah sudut penuh dengan warga yang melepas lelah, menikmati aneka jajanan. Di sudut lain, tentu saja, terdapat orang-orang yang sedang berfoto ria.

Menuju Warung Jambu

Kali ini saya tidak berfokus kepada lapangan yang tersohor di Bogor itu, tapi melanjutkan perjalanan ke pasar Warung Jambu. Jaraknya 2,5 kilometer-an. Sekalian mencari menu sarapan.

Melewati Taman Kencana. Tidak terlalu ramai. Mungkin pengunjung tersedot ke Lapangan Sempur. Lanjut menyusuri jalan Ciremai, meninggalkan rumah makan dan kedai yang sebagian besar belum buka.

Berjumpa PNS

Menapaki jalan yang teduh dipayungi rimbunnya pepohonan besar. Di sebelah kanan terdapat bangunan eks Fakultas Kehewanan IPB.

Ke bawah berjajar rumah-rumah zaman dulu dengan halaman luas. Berakhir pada jalan Ciremai Ujung, yang merupakan daerah relatif baru dengan tipikal perkampungan.

Sebelum tiba di wilayah padat penduduk itu, saya menyetop sebuah motor matik model lawas. Jok bagian belakang menyimpan keranjang berisi makanan matang.

Aneka masakan matang di atas jok motor (dokumen pribadi)
Aneka masakan matang di atas jok motor (dokumen pribadi)

Menghitung sepintas, ada sekitar 30 bungkus lauk pauk dan sayur masak. Gulai telur bulat, soto kuning, ikan asin dicabein, teri kacang, tempe orek, tumis oncom, buntil, tumis daun pepaya, jengkol balado, dan sebagainya. Masing-masing jenis ada dua sampai empat bungkus plastik.

Saya membeli buntil, telur, oncom, sayur sup, dan tidak lupa: jengkol!

Strategi Menghampiri Pembeli, Bukan Menunggu Warung

Tadinya, persoalan utama pria murah senyum ini adalah memperoleh penghasilan sah sebagai kepala keluarga.

Ia kesulitan memperoleh pekerjaan. Juga memiliki hambatan serius untuk menyewa, mengisi perlengkapan, dan modal kerja usaha warung makan.

Dalam situasi kepepet, terbersit gagasan cemerlang. Daripada bertopang dagu merenungkan hambatan dalam modal warung, ia memanfaatkan motornya sebagai wahana usaha.

Hasil keterampilan istrinya dibawa di atas sepeda motor dan ditawarkan kepada pegawai-pegawai kantor di sekitar Taman Kencana hingga Sempur. Selain lauk pauk dan sayur matang, ia juga membawa nasi putih.

Harga ditawarkan cukup murah, dari Rp 7 hingga 10 ribu. Saya tidak tahu perincian harga masing-masing. Namun boleh dibilang, harga jualnya sedikit lebih murah dibanding barang serupa di warung makanan.

"Ada untungnya?"

"Masih ada. Biayanya operasionalnya kecil. Cuman bensin. Irit pula."

Saya membayar sebungkus berisi dua butir telur seharga Rp 8 ribu. Buntil Rp 7 ribu. Lainnya lupa. Enam atau tujuh macam masakan tersebut ditebus senilai kurang dari Rp 50 ribu.

Menurut pengakuan, selama hari kerja barang dagangan laris dibeli pegawai kantoran. Rata-rata habis.

Hari Sabtu ia menawarkan makanan matang kepada "turis lokal" di Taman Kencana maupun Lapangan Sempur. Hari Minggu libur. Selama itu pula, ia menjalankan usaha secara door to door sesuai kapasitas.

Jadi, strategi tersebut menjadi cara jitu mengatasi kekurangan modal usaha dengan memanfaatkan aset tersedia. Tanpa perlu repot-repot menanamkan modal lebih besar dalam bisnis kuliner.

Dengan strategi jemput bola berinisiatif menghampiri pembeli dan menawarkan produk. Tidak perlu lagi menunggu warung, menanti pembeli datang.

Dalam konteks perkembangan teknologi masa kini, strategi jemput bola menggunakan lingkungan digital. Baik untuk promosi, transaksi, hingga delivery.

Lantas, apa arti sematan PNS?

"PNS adalah ...., Penjual Nasi dan Sayur," jawabnya dengan muka datar, seraya menerima uang pembayaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun