Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bukan Meluaskan Tempat, tapi Mengembangkan Sayap Usaha

20 November 2021   08:53 Diperbarui: 20 November 2021   08:56 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi meluaskan ruang bisnis kuliner oleh photosforyou dari pixabay.com

Konon, ada mitos: kalau tempat makan diperluas atau dirombak agar tampak lebih mentereng, maka selanjutnya ia akan sepi pengunjung. 

Benarkah demikian?

Teman-teman di bisnis kuliner memercayai hal itu. Diperkuat oleh kesaksian saya sendiri atas beberapa peristiwa.

Tempat makan dirombak total atau diperluas, namun setelah peresmiannya, jumlah pengunjungnya anjlok. Bukan akibat efek visual. Tempat lebih lebar, tamu kelihatan sedikit. Dalam perjalanan berikutnya, rumah makan tersebut cenderung sepi. Lama-lama tutup.

Saya ceritakan dua rumah makan saja. Saya tidak berhasil mengingat kejadian lainnya.

***

Sebuah warung terletak di tikungan menjelang masuk jalan tol demikian ramai pengunjung.

Penampilannya sangat sederhana. Konstruksi kayu dengan sebagian dinding dari anyaman bambu dan lantai plur semen. Interior biasa saja. Kursi kayu panjang mengelilingi meja dengan mangkuk-mangkuk besar berisi aneka olahan. Ke dalam lagi terdapat panggung lesehan beralaskan tikar pandan.

Seperti kebanyakan warung Sunda, warung tersebut menyediakan mojang, eh, masakan khas Priangan. Dari lalap daun mentah, sayur asem, sampai aneka tumisan. Ikan dan ayam goreng atau bakar. Tahu, tempe, ikan asin Pepes-pepesan. Semur jengkol. Petai digantung. Wis, pokoknya banyak pilihan.

Makannya bebas. Boleh di panggung, dengan konsekuensi duduk dengan cara bersila. Atau duduk di kursi panjang dengan satu kaki naik ke kursi. Makan dengan tangan pun terasa nikmat.

Setelah sekian lama, saya kembali mampir. Kini penampilan luar lebih mentereng. Seperti restoran serius. Masuk ke dalam, lantai dikeramik. Putih. Dinding belakang dibobol. 

Ruangan lebih luas. Meja kursi restoran dikelilingi kursi-kursi plastik. Tempat memamerkan makanan pindah ke bagian belakang. Di dalam etalase modern terbuat dari kaca.

Keren, bersih, kekinian, dan sepi. Tidak seperti sebelumnya yang selalu penuh setiap saat.

Kejadian kedua saya alami sendiri. Ada saatnya kafe yang saya kelola beralih kepemilikan saham mayoritas. Saya pernah menuliskannya, tapi lupa kapan (justifikasi dari males nyari).

Pemilik baru meminta saya untuk tetap berada di situ, sambil transfer ilmu kepada pengelola penerus. Sebelum itu ia ingin merombak interior kafe. 

Saran profesional saya agar keadaan tidak dirombak total, adalah dengan merapikan atau mengganti hal bersifat minor di tempat makan bersuasana bohemian itu. Dominasi nuansa terakota, lantai semen berwarna merah tua yang retak-retak, perabotan kayu jati membuat para tamu merasa homy.

Sekian bulan saya kembali. Ciri khas arsitektur bohemian lenyap. Berganti dengan interior bergaya modern. Kursi meja kayu berganti mebeler besi dan kulit. Railing/pagar pembatas antara permukaan lantai rendah dan tinggi diganti dengan stainless steel lurus yang mengkilap. Tadinya pagar besi berwarna tembaga, sengaja dibentuk bergelombang agar berkesan artistik.

Pada saat acara re-opening tamu-tamu berdatangan. Kangen dengan tempat yang telah diperbaharui. Mereka pesan segelas minuman dan snack, lalu keluar. Belum jam sembilan malam, kafe sudah sepi

Hari-hari berikutnya saya mengundang agar langganan datang lagi. Minum sebentar, lalu pergi. Bagi kafe, betahnya tamu berada di tempat sangat berpengaruh terhadap penjualan. Semakin lama, semakin bagus.

Ditambah dengan gimmicks pun tidak mampu meningkatkan durasi stay. Reaksi yang saya tangkap adalah, sebagian besar tamu merasa asing dengan tempat yang kini jauh lebih bagus, tapi kaku.

Tidak lama setelah saya mundur sepenuhnya, tempat makan sekaligus hiburan itu tutup.

Mengapa jadi sepi, walaupun telah diperluas atau dirombak total? Lain waktu saya terangkan.

Tentu saja kisah di atas tidak serta-merta menegaskan gagasan: menurunnya omzet rumah makan disebabkan oleh perluasan atau perombakan tempat, bukan rehabilitasi. Tidak bisa digeneralisir begitu saja.

***

Namun pada suatu masa, skema "jangan meluaskan atau merombak tempat makan" saya sampaikan kepada pemilik Soto Rempah Bu Nelly. Bila warung sudah terasa ramai, bukalah cabang di tempat lain. Demikian kira-kira saya meyakinkannya.

Baca juga: Soto Rempah yang Enak dengan Harga Murah

Lama tidak berkunjung, kangen juga dengan Bu Nelly. Maksud saya, kangen dengan aroma dan citarasa khas Soto Rempah Bu Nelly. Beberapa hari lalu mampir. Memesan semangkuk soto dan setengah porsi nasi putih. Aroma, rasa tidak berubah. Hanya satu kata: enak!

Semangkuk soto rempah dan setengah porsi nasi| Budi Susilo/dokumen pribadi
Semangkuk soto rempah dan setengah porsi nasi| Budi Susilo/dokumen pribadi

Biasa. Seusai melicinkan mangkuk, saya ngobrol-ngobrol kosong dengan Pak Alex. Di sela perbincangan, suami Bu Nelly itu mengabarkan berita gembira.

"Alhamdulillah, sudah buka cabang."

Belum lama, gerai Soto Rempah Bu Nelly melebarkan sayap, menempati lantai food court Gedung Capital Place, Jl. Jend. Gatot Subroto, Jakarta.

Mereka kerja sama operasi dengan seorang investor. Pemodal menyewa tempat, membeli peralatan, dan mengoperasikannya. Bu Nelly dan Pak Alex memasok bumbu dan bahan. 

Bumbu dan rempah takaran tertentu dikemas untuk cabang| Budi Susilo/dokumen pribadi
Bumbu dan rempah takaran tertentu dikemas untuk cabang| Budi Susilo/dokumen pribadi

Laris! Jam makan siang belum usai, persediaan makanan sudah habis.

Saya menganjurkan agar jangan dulu menambah jumlah porsi. Pertahankan sampai kira-kira enam bulan. Pelajari situasi, baru mengambil keputusan, apakah menambah stok atau tetap.

Senantiasa menjaga kualitas produk, baik aroma dan rasa. Mulai tentukan standard operating procedure cabang.

Selain itu, disarankan agar Pak Alex mulai memikirkan proses pendaftaran merek dagang. Terinformasi, kini Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, membuka pintu pendaftaran online melalui: www.dgil.go.id

Saya turut bergembira dengan pengembangan sayap bisnis itu, bukan dengan cara perluasan atau perombakan tempat. Sedikit banyak, pemilik Soto Rempah Bu Nelly memercayai sintesis yang pernah saya sampaikan.

Bukan meluaskan tempat, tetapi mengembangkan sayap usaha dengan membuka cabang baru.

Oh ya, dalam waktu tidak terlalu lama, Pak Alex akan membuka cabang Soto Rempah Bu Nelly di Semarang.

Ah, sebuah bisnis kuliner yang mulai mengembangkan sayapnya. Semoga sukses.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun