Hari-hari sepi kampung tersunyi mendadak riuh, tumbuh percakapan-percakapan gusar. Kebijakan pusat akhirnya sampai ke daerah terpencil itu.
"Ya, kebijakan tersebut membuat rakyat tidak bergerak."
"Itu sama saja dengan mematikan perdagangan. Lama-lama kita tidak punya uang."
"Penutupan tempat suci menyebabkan kita tidak bisa melaksanakan ibadah. Mana sebentar lagi Idul Adha, tidak boleh berkumpul."
"Lagi pula, ngapain sih percaya kepada penyakit gituan? Emang bener mematikan? Jangan-jangan hanya akal-akalan. Itu konspirasi."
"Sebaiknya kita ramai-ramai berdemonstrasi ke Pak Apung. Siapkan nasi bungkus...!!!"
Maka gerombolan pria beranjak dari pos ronda yang belakangan mereka kuasai, dengan meninggalkan tumpukan kartu gaple dan remi, gelas-gelas berisi ampas kopi, puntung rokok, botol-botol kosong berwarna hijau, dan sedikit bau menyengat.
***
Kepala Kampung pusing tujuh keliling. Gerombolan orang meneriakkan yel-yel bernada protes di depan rumahnya. Bukan suara sumbangnya yang dipikirkan, tetapi sikap mereka. Segelintir warga bebal berkerumun tidak memakai masker dan melakukan keributan.
Segelintir orang meneriakkan penolakan. Segala rupa dalih dan dalil disampaikan oleh mereka. Segelintir orang itu berteriak kuat berusaha meruntuhkan keyakinan banyak orang. Narasi nyaringnya nyaris memenuhi tong yang senantiasa kosong karena bocor pada beberapa bagian dindingnya, menyebabkan polusi kedamaian dan kebersamaan di kampung terpencil itu.
Sementara sebagian besar warga mematuhi protokol kesehatan dan mengikuti peraturan yang dibuat demi mengeliminasi penularan wabah. Kerja bersama untuk mengendalikan pagebluk dengan cara: mematuhi protokol kesehatan, ikut vaksinasi, dan mematuhi peraturan. Hanya itu.