Sebenarnya kunci utama dalam mengatur keuangan selama bulan penuh ampunan adalah menahan hawa nafsu berbelanja, seperti halnya menahan nafsu makan dan minum.Â
Persoalannya berkaitan dengan godaan-godaan yang dapat menyeret kepada pemborosan sia-sia.
Merancang dan mengatur arsitektur keuangan pada bulan Ramadan sesungguhnya sama dan sebangun dengan mengonstruksi pengelolaannya pada bulan-bulan lain.
Bila masih jomlo, besaran pendapatan sebisa mungkin didedikasikan kepada pengeluaran pribadi, seperti:
- Pemenuhan kebutuhan makan minum,
- Pembelian hal-hal yang meningkatkan penampilan.
- Keperluan untuk pacaran.
- Penyampaian tanda bakti kepada orang tua.
- Penyisihan untuk tabungan.
Sedangkan bagi yang sudah berkeluarga atau telah memiliki tanggungan, skala pembiayaan lebih luas:
- Keperluan primer (sandang, pangan, dan papan).
- Pengeluaran untuk pendidikan anak.
- Pencadangan untuk kesehatan, rekreasi, dan biaya sosial.
- Tanda bakti kepada orang tua dan bantuan biaya kepada saudara (jika ada).
- Penyisihan untuk tabungan.
Setidaknya itulah rentang pengeluaran yang umum dihadapi, baik jomlo maupun mereka yang sudah berkeluarga, dengan variasi kuantitas berbeda-beda.
Bulan berkah memang istimewa. Bukan saja karena merupakan bulan dirindukan oleh umat Islam untuk melaksanakan kewajiban berpuasa, tapi merupakan hari-hari berlangsungnya kenaikan harga.
Sebelum Ramadan tiba, harga barang-barang kebutuhan pokok merangkak naik. Salah satu komoditas legendaris yang selalu naik adalah cabai. Bukan cabe-cabean. Tidak hanya membuat pening kepala kita, tetapi pemerintah juga kelabakan meredamnya.
Selain itu, barang kebutuhan belanja dapur yang mengalami eskalasi harga menjelang hari raya adalah: daging, kepala -eh- kelapa, dan petai. Kebutuhan menyongsong lebaran pun bertambah, seperti baju baru, selop baru, kopiah baru, sajadah baru, motor atau mobil baru, dan semua hal baru, kecuali istri baru.
Kenaikan harga barang dan kebutuhan baru itulah kemudian membebani keuangan yang mesti disiasati secara bijaksana.