Pertama. Aku merasa Mamah "matre", yang mengernyitkan dahi ketika aku datang dengan bau asap solar melekat di baju,akibat menumpang Metromini. Perasaan diremehkan membuat hubungan kita tidak ramah. Percakapan-percakapan merupakan basa-basi.
Namun lama-kelamaan aku memaklumi, kekakuan dilandasi oleh sifatku yang tidak membuka diri. Tidak bercerita tentang latar belakang kehidupan dan menunjukkan keseriusan mendalam atas hubungan dengan putri Mamah dan Bapak.
Terbukti, kebekuan itu pecah, setelah aku berkisah mengenai keluarga, pendidikan, pekerjaan, segala hal menyangkut diriku secara gamblang. Sampai detik ini, Mamah masih mau menampung keluh kesah, semenjak orang tuaku tiada.
Kedua. Berbeda dengan Mamah, Bapak cenderung pendiam, berkata secukupnya dan secakapnya saja. Kurang lebih mirip dengan sifatku, yang membawa kepada hubungan kurang erat. Juga membuatku sungkan.
Saat itu Bapak menegaskan jam 9.00 malam sebagai waktu akhir untuk memulangkan putri sulung, setelah jalan-jalan misalnya. Dalam banyak kesempatan, gadis pujaan hati dikembalikan ke rumah tanpa kurang satu apa pun, sebelum waktunya.
Hanya sekali. Cuma sekali saja aku terlambat mengembalikannya. Alasan yang aku sampaikan adalah, jam mulai nonton terlalu larut, sehingga berimbas kepada bubaran bioskop yang jauh melampaui pukul 9 malam. Apa pun dalihnya, tetap saja hal itu melanggar aturan.
Sesuai mematikan TV, Bapak menginterogasi --tepatnya: mendakwa---dengan nada keras. Semua penjelasan dimentahkan, membuat darahku mendidih. Aku menimpali nada tegas Bapak dengan suasana hati yang keras pula. Mamah dan putri Bapak terdiam ketakutan.
Perdebatan dan percakapan berlangsung sampai menjelang subuh.
Percakapan? Ya. Percakapan timbul setelah perdebatan memuncak. Ia merupakan pereda amarah, yang mengonstruksi pembicaraan penuh rasa kekeluargaan.
Di dalam percakapan tersebut tercermin rencana-rencana, menimbang aku dan putri Mamah dan Bapak yang telah sama-sama dewasa. Bahasa kerennya, semacam peta jalan menuju puncak tujuan tertinggi.
Kebuntuan mencair, diganti oleh kehangatan. Aku menyatakan keseriusan untuk meminang anak Mamah dan Bapak yang mengangguk tersipu-sipu, sambil terkantuk-kantuk. Di hadapan Mamah dan Bapak, aku meminta gadis cukup usia itu sebagai pendamping hidup.