Di Indonesia, kita tidak mungkin bisa lari dari yang namanya keragaman, hal itu menjadi fakta sosial yang tak terbantahkan. Dengan rumusan Bhinneka Tunggal Ika yang diwariskan oleh para pendiri bangsa, kita dapat menyadari bahwa kita memang berbeda namun kita satu bangsa. Sebagai warga negara kita terikat dalam komitmen kebangsaan dan juga di sisi lain kita terikat pada komitmen keagamaan sebagai bukti nyata kita mahluk beragama. Sudah seharusnya terjadi kesinambungan antara kehidupan bernegara yang memerlukan nilai etik dan nilai moral sebagaimana yang diajarkan oleh agama. Di Indonesia khususnya hubungan antara agama dan negara sudah terbingkai dalam sistem demokrasi di negara ini.
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (1989) mengungkapkan bahwa antara agama dan negara harus terjalin secara proporsional. Perpaduan antara keduanya didasari oleh landasan hukum Islam yang tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik. Pemikiran tersebut didasari oleh landasan hukum agar proses berfikir kaum muslimin tidak menganggu perkembangan dan pembangunan negara dalam jangka panjang.
Namun sangat disayangkan isu tentang relasi komitmen kebangsaan dan keagamaan merupakan permasalahan klasik dalam sejarah peradaban modern. Sejak Indonesia merdeka hingga kini, keduanya selalu berhasil memantik polemik bagaimana posisi agama dalam perpolitikan kebangsaan maupun sebaliknya. Nahdlatul Ulama dalam muktamar ke-27 nya pada tahun 1984 mengesahkan konsensus Pancasila sebagai falsafah negara.
Meski demikian, proses tarik menarik kepentingan antara kebangsaan dan keagamaan itu rupanya tak pernah usai. Pilpres 2024 lalu menjadi salah satu celah bagi kelompok radikal terorisme mempromosikan "visi politik-teologis" mereka. Politik terkadang dimanfaatkan untuk memanipulasi isu-isu keagamaan guna memperoleh keuntungan politik, yang pada akhirnya menyebabkan polarisasi dan ketegangan di kalangan masyarakat. Begitu juga sebaliknya, otoritas agama digunakan untuk mendelegitimasi komitmen kebangsaan warga negara.
Oleh karena itu, di era paska kebenaran yang lebih mengedepankan emosi di banding fakta ini, mengembangkan lensa kolektif untuk dapat menerima keberagaman, entah itu beda agama, beda suku, beda pilihan politik dengan pemikiran terbuka adalah hal yang sangat menantang. Dalam banyak kasus, ketika nilai-nilai abadi --seperti kejujuran, keadilan, dan kemanusiaan tidak dilanggar, hal yang berbeda bisa saling melengkapi. Semangat ko-eksistensi juga harus dipupuk dan dijaga karena mozaik yang indah justru tersusun dari aneka warna yang beragam dan bentuk yang tidak sama pula. Sudah seharusnya suatu yang berbeda tidak selalu dianggap berdiri berseberangan secara diametral. Menutup mata dari perbedaan jelas mengabaikan akal sehat. Sebaliknya, hanya mengedepankan perbedaan akan menggadaikan hati nurani.