Fenomena buzzer politik di Indonesia bukan hal baru. Sepuluh tahun terakhir, keberadaannya melekat pada dinamika politik nasional, bahkan menjadi mesin pencitraan yang efektif bagi penguasa. Kini, ketika Megawati Soekarnoputri meminta Presiden Prabowo Subianto memberantas buzzer, muncul pertanyaan: apakah ini murni demi memperbaiki etika demokrasi, atau bagian dari pertarungan pengaruh politik pasca-Jokowi?
Di sisi lain, Rocky Gerung menilai buzzer bukan sekadar fenomena digital, melainkan strategi terstruktur untuk melindungi kepentingan politik, termasuk menjaga posisi Gibran Rakabuming agar tak terguncang isu pemakzulan.
Perspektif Hukum: Antara Kebebasan Berekspresi dan Batasnya
Dari sudut hukum, buzzer yang menyebarkan fitnah, hoaks, atau ujaran kebencian dapat dijerat dengan:
Pasal 27 ayat (3) UU ITE: Pencemaran nama baik.
Pasal 28 ayat (2) UU ITE: Penyebaran kebencian berdasarkan SARA.
KUHP Pasal 310-311: Fitnah dan pencemaran nama baik.
Namun, problem utamanya ada pada penegakan hukum yang selektif. Selama ini, buzzer yang berpihak pada kekuasaan cenderung dibiarkan, sementara pihak oposisi sering menjadi target penindakan. Inilah yang membuat hukum kehilangan wibawa dan terlihat sebagai alat politik, bukan instrumen keadilan.
Memberantas buzzer tanpa kerangka hukum yang adil justru berpotensi menjadi represi digital, mematikan kebebasan berpendapat yang dilindungi Pasal 28E UUD 1945.
Perspektif Politik: Antara Idealitas dan Kepentingan Kekuasaan
Secara politik, langkah Megawati menantang Prabowo memberantas buzzer memiliki dua dimensi:
1. Dimensi idealitas - mengembalikan kualitas demokrasi ke jalur perdebatan sehat, bukan manipulasi opini publik lewat akun anonim.
2. Dimensi pragmatis -melemahkan jaringan komunikasi politik yang selama ini dianggap dekat dengan lingkaran Jokowi, yang potensial masih digunakan untuk melindungi dinasti politiknya.
Rocky Gerung menggarisbawahi bahwa "demokrasi buzzerisme" adalah strategi untuk mengamankan status quo, termasuk menjaga posisi Gibran. Jika Prabowo benar-benar memutus rantai ini, ia akan mengubah peta kekuatan komunikasi politik nasional, tapi sekaligus berisiko membuka front konflik dengan pendukung Jokowi.
Risiko dan Tantangan Penertiban Buzzer
Menertibkan buzzer bukan perkara teknis semata, tapi juga menyentuh:
- Kepentingan elite yang selama ini diuntungkan oleh keberadaan buzzer.
- Kebebasan berekspresi yang rawan terkikis jika penertiban dilakukan tanpa batasan aturan yang jelas.
- Kontestasi narasi di media sosial yang sudah menjadi arena politik utama.
Jika penertiban dilakukan hanya pada satu kubu, ini akan mempertegas persepsi publik bahwa pemberantasan buzzer hanyalah alat politik untuk menghantam lawan, bukan untuk memperbaiki demokrasi.
Rekomendasi: Jalan Tengah Hukum dan Etika
Agar "perang melawan buzzer" tidak berubah menjadi perang melawan kebebasan berekspresi, pemerintah perlu:
1. Menyusun definisi hukum yang jelas tentang buzzer, sehingga penegakan tidak subjektif.
2. Membentuk badan pengawas independen yang memantau aktivitas politik digital tanpa intervensi partai atau pejabat.
3. Meningkatkan literasi digital masyarakat agar publik mampu membedakan informasi faktual dari propaganda.
4. Menegakkan hukum secara konsisten pada semua pelaku, tanpa tebang pilih berdasarkan afiliasi politik.
Penutup: Perang yang Tak Sekadar di Dunia Maya
Perang melawan buzzer sejatinya adalah perang melawan degradasi demokrasi. Di era pasca Jokowi, tantangan bagi Prabowo bukan hanya menghapus akun-akun anonim, tetapi juga membangun sistem politik yang tidak bergantung pada propaganda digital bayaran.