Tragedi meninggalnya P (16), siswa SMA di Garut akibat depresi berat yang diduga dipicu oleh perundungan (bullying) di lingkungan sekolah, adalah potret buram dunia pendidikan kita hari ini. Sekolah yang seharusnya menjadi ruang aman bagi anak, justru berubah menjadi arena kekerasan yang terstruktur, sistemik, dan dibiarkan. Lebih ironis lagi, guru yang seharusnya menjadi pelindung malah diduga turut serta menciptakan luka psikologis bagi korban.
Lantas, bagaimana tanggung jawab hukum sekolah dan guru? Opini ini akan mengulasnya secara kritis.
📌 Bullying Bukan Hanya Masalah Moral, Tapi Juga Masalah Hukum
Bullying yang berujung pada kematian bukanlah sekadar "kenakalan anak sekolah" yang bisa diselesaikan dengan mediasi atau permintaan maaf. Ini adalah kejahatan terhadap anak yang diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan.
🔹 Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak:
 "Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap Anak."
🔹 Pasal 80 Ayat (3) UU Perlindungan Anak:
"Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan anak luka berat, pelaku dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah). Jika mengakibatkan kematian, pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000 (tiga miliar rupiah)."
âž¡ Penjelasan:
Guru, siswa, bahkan sekolah sebagai institusi, tidak bisa berdalih hanya "ikut arus" jika mereka terbukti membiarkan atau terlibat langsung. Hukum memandang kealpaan melindungi anak sebagai bagian dari tindak kekerasan.
📌 Peran Guru: Pelindung atau Pelaku?
Dalam kasus Garut ini, orang tua korban menyebut ada guru yang turut merundung secara verbal. Penyebutan "ABK" (Anak Berkebutuhan Khusus) secara sembarangan, merendahkan martabat anak di depan umum, dan menyebarkan stigma adalah bentuk kekerasan psikis.
🔹 Pasal 1 Ayat (15) UU Perlindungan Anak:
"Kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang mengakibatkan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum."
âž¡ Penjelasan:
Guru yang secara sadar menciptakan lingkungan diskriminatif, menstigma murid, dan memupuk kebencian di antara siswa bisa diproses hukum karena melanggar hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang aman, layak, dan bebas dari kekerasan.
📌 Tanggung Jawab Sekolah Secara Administratif dan Perdata
Tidak cukup berhenti pada pidana personal, sekolah sebagai institusi wajib bertanggung jawab secara hukum karena lalai menyediakan lingkungan yang aman.
🔹 Pasal 54 UU Perlindungan Anak:
"Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain."