Mohon tunggu...
Sudut Kritis Budi
Sudut Kritis Budi Mohon Tunggu... Entrepreneur dan Penulis

Penulis opini hukum dan isu-isu publik. Menyuarakan kritik konstruktif berbasis hukum dan nilai keadilan. Karena negara hukum bukan sekadar jargon.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengapa Kritik Hukum Sering Tidak Nyaman Bagi Media Warga?

18 Juli 2025   12:58 Diperbarui: 23 Juli 2025   17:30 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Generated by AI / DALL-E OpenAI (2025)

Media warga lahir dari semangat zaman baru: kebebasan berekspresi, kebebasan berbagi gagasan, dan keberanian membuka ruang bagi suara rakyat biasa yang sering tak didengar oleh media arus utama. Kompasiana, sebagai salah satu pelopor media warga di Indonesia, sejak awal menawarkan janji kebebasan itu.

Namun dalam perjalanan saya menulis, terutama menyentuh bidang hukum, politik, dan kekuasaan, saya mulai merasakan sendiri bahwa kebebasan itu ternyata tidak seluas yang dijanjikan. Bahkan untuk opini hukum yang saya susun dengan kaidah akademik, saya mendapati tulisan saya kerap diturunkan. Ironisnya, bukan karena hoaks, bukan ujaran kebencian, bukan fitnah. Melainkan karena saya menulis sesuatu yang, tampaknya, tidak nyaman bagi media warga: kritik hukum terhadap kekuasaan.

Kasus yang Saya Alami: Kritik Hukum atas Ijazah Jokowi
Saya menulis opini hukum kritis tentang kasus ijazah Presiden Jokowi. Sebuah isu yang sebenarnya sudah menjadi konsumsi publik, sudah dibahas di pengadilan, dan sudah melalui berbagai dinamika hukum. Tidak ada hoaks, semua saya susun berbasis fakta, regulasi, dan metode berpikir hukum yang sehat.

Namun berulang kali tulisan tersebut hilang dari peredaran. Diturunkan. Dihapus diam-diam.  Ada notifikasi tapi tak jelas kenapa diturunkan. Ada ruang dialog tapi tak pernah ada tanggapan secara tulisan. Bagi redaksi Kompasiana, seolah-olah saya menyentuh sesuatu yang "haram" dibahas di ruang media warga.

Saya mulai bertanya:
Apakah algoritma Kompasiana secara otomatis memfilter kata “Jokowi” + “Ijazah”?
Ataukah ini murni keputusan redaksi yang tak ingin berurusan dengan isu yang dianggap sensitif secara politik?
Apapun jawabannya, hasilnya sama: kritik hukum yang sehat justru disingkirkan.

Mengapa Media Warga Tak Nyaman dengan Kritik Hukum?
Saya sampai pada kesimpulan pribadi: media warga pun hidup dalam ketakutan yang sama dengan media arus utama. Takut dianggap menyerang kekuasaan. Takut dianggap memprovokasi. Takut kehilangan akses. Takut dianggap bagian dari narasi oposisi.

Lebih mudah bagi mereka memuat tulisan ringan soal traveling, kuliner, lifestyle, atau opini sosial yang tak menyinggung kekuasaan. Lebih aman bagi mereka membiarkan opini dangkal bertaburan, ketimbang memelihara pemikiran kritis yang menyentuh inti persoalan negara. Media warga hari ini, tampaknya, lebih memilih "nyaman" daripada "berani."

Refleksi Lebih Dalam: Apa yang Kita Kehilangan?
Ketika kritik hukum mulai dipinggirkan, kita sebenarnya sedang kehilangan fungsi utama media warga: menjadi ruang kritik sosial yang sehat.
Tanpa kritik hukum:
- Demokrasi kita kehilangan penyeimbang.
- Pemikiran hukum kehilangan wadah uji.
- Masyarakat kehilangan referensi kritis yang sehat.

Kritik bukan ancaman. Kritik adalah bagian dari kebebasan berpikir yang dijamin undang-undang. Jika media warga pun alergi terhadap kritik hukum, bagaimana kita berharap demokrasi digital bisa tumbuh sehat?

Penutup: Memilih Ruang yang Lebih Sehat
Saya tidak berhenti menulis. Tapi saya sadar, tidak semua ruang digital benar-benar menyediakan ruang bagi nalar kritis untuk tumbuh. Beberapa ruang hanya ingin jadi tempat yang aman-aman saja, tempat yang tidak mengganggu stabilitas kekuasaan.

Hari ini saya memilih mencari ruang lain. Ruang yang lebih berani, lebih jujur, lebih ramah bagi pemikiran kritis. Karena saya percaya, kebenaran hukum tak pernah mati hanya karena tulisan diturunkan. Ia akan tetap hidup di kepala, di pena, dan di ruang yang merdeka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun