Mohon tunggu...
Sudut Kritis Budi
Sudut Kritis Budi Mohon Tunggu... Entrepreneur dan Penulis

Penulis opini hukum dan isu-isu publik. Menyuarakan kritik konstruktif berbasis hukum dan nilai keadilan. Karena negara hukum bukan sekadar jargon.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rel Kereta Api Tanpa Palang: Negligensi Struktural yang Membunuh

26 Juni 2025   18:30 Diperbarui: 25 Juni 2025   18:41 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Gambar dihasilkan menggunakan AI DALL·E oleh OpenAI berdasarkan prompt visual orisinal.

Satu lagi tragedi berdarah terjadi di jalur kereta api. Pada 8 April 2025, Kereta Commuter Line Jenggala tertemper truk bermuatan kayu gelondongan yang nekat menerobos perlintasan sebidang tanpa palang di antara Stasiun Indro dan Kandangan, Gresik, Jawa Timur. Benturan keras itu merenggut nyawa Abdillah Ramdan, seorang asisten masinis muda yang tengah menjalankan tugas.

Kecelakaan ini seharusnya tak perlu terjadi dan tak boleh dianggap sebagai insiden semata. Ia mencerminkan kegagalan negara dalam menjamin keselamatan transportasi publik, khususnya pada titik-titik kritis: perlintasan rel kereta api tanpa pengamanan.

🛑 Negara Gagal Melindungi Rel Aktif
Bagaimana mungkin jalur rel aktif yang setiap hari dilintasi kereta dibiarkan tanpa palang, tanpa sinyal, dan tanpa penjagaan? Kita bicara soal sistem transportasi publik yang memindahkan ribuan orang per hari, namun jalur relnya dibiarkan seperti jerat maut di tengah jalan.

Menurut Pasal 25 ayat (2) dan (3) UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, penyelenggara perlintasan wajib menyediakan perlengkapan keselamatan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak perlintasan sebidang, termasuk lokasi kejadian di Gresik, masih belum memenuhi standar minimal keselamatan.

Ini bukan hanya kelalaian teknis. Ini adalah bentuk kelengahan sistemik. Negara dalam hal ini pemerintah daerah, Kementerian Perhubungan, hingga aparatur pelaksana teknis telah gagal mengantisipasi bahaya laten di jalur transportasi publik.

⚖️ Sopir Truk Harus Bertanggung Jawab Penuh
Secara hukum, sopir truk bermuatan kayu yang nekat menerobos lintasan aktif jelas bersalah. Ia melanggar:

Pasal 114 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang mewajibkan setiap pengendara untuk berhenti saat mendekati perlintasan kereta, melihat dan mendengar sebelum melintas, meski tanpa palang.

Pasal 310 ayat (4) UU yang sama, yang menyatakan:
"Jika kecelakaan lalu lintas mengakibatkan orang lain meninggal dunia, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000 (dua belas juta rupiah)."

Dengan kata lain, sopir truk ini dapat dikenakan sanksi pidana penjara hingga enam tahun dan denda Rp12 juta. Tidak ada alasan pembenaran bagi tindakan sembrono yang menghilangkan nyawa pekerja kereta api yang tidak bersalah.

Namun, penegakan hukum tidak boleh berhenti pada sopir truk. Harus ada pertanggungjawaban dari sistem, bukan hanya individu.


⚠️ Perlintasan Sebidang: Bahaya Struktural yang Dibiarkan
Masih ada lebih dari 3.000 perlintasan sebidang tanpa izin di Indonesia, dan sebagian besar tidak memiliki palang, sinyal, atau petugas jaga. Ini adalah ancaman nyata bagi keselamatan publik, yang terus menunggu korban berikutnya.

Pertanyaannya: apakah nyawa manusia lebih murah dari biaya membangun palang pintu otomatis? Jika pemerintah sanggup membangun jalan tol dengan nilai triliunan, mengapa untuk membangun flyover, underpass, atau sekadar palang otomatis dan penjaga perlintasan, kita terus berdalih soal anggaran?

🕯️ Abdillah Ramdan: Nama yang Tak Boleh Jadi Statistik
Abdillah Ramdan bukan hanya asisten masinis. Ia adalah simbol dedikasi di tengah sistem transportasi yang belum aman sepenuhnya. Kepergiannya adalah peringatan keras: jika sistem tidak berubah, akan ada Abdillah-Abdillah berikutnya yang gugur sia-sia.

🔧 Seruan Aksi Nyata: Jangan Tunggu Korban Berikutnya
1. Tutup semua perlintasan liar tanpa izin dan tanpa pengamanan.
2. Bangun flyover atau underpass di perlintasan sebidang yang ramai dan strategis.
3. Tingkatkan edukasi keselamatan berbasis komunitas dan kampus.
4. Fasilitasi patroli Dishub dan kepolisian secara periodik di perlintasan rawan.
5. Evaluasi hukum dan penindakan: jangan berhenti di sopir tapi audit menyeluruh sistem keselamatan rel.

🗣️ Penutup:

Satu rel tanpa palang bisa mengakhiri hidup satu bangsa yang abai.
Negara tidak bisa terus mengandalkan nasib dan doa untuk mencegah kecelakaan. Duka tidak akan pernah cukup menggantikan nyawa. Kita butuh tindakan nyata, penegakan hukum tegas, dan investasi serius pada keselamatan rel.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun