Mohon tunggu...
Buana Kemi
Buana Kemi Mohon Tunggu... PNS -

Aku adalah goblok bermartabat karena selalu bodoh di hadapan hidangan ilmu baru.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Benteng Terakhir Melawan Korupsi

24 Februari 2016   11:48 Diperbarui: 24 Februari 2016   12:04 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="korupsi | Ilustrasi : www.globalindonesianvoices.com"][/caption]Bangsa Indonesia bergelimang tragedi kemanusiaan luar biasa. Kenapa ‘bergelimang’? sementara konotasi tersebut untuk sesuatu yang baik adanya. Nah, kenyataannya adalah bahwa tragedi-tragedi yang terjadi justru dinikmati bahkan merasa dirahmati jika mampu dilalui. Apa bukan paradoks namanya? Seriously? Tuhan dengan teganya membiarkan saudara sebangsa menyiksa sesama secara terus menerus?

Mari segarkan kembali ingatan kita pada upaya pemerintah dalam memberantas salah satu penyebab penderitaan di bumi nusantara, korupsi. Upaya tinggal upaya sebab semakin ke kini, momok yang namanya korupsi masih berdiri kokoh dari Sabang sampai Merauke. Momok yang menjadi induk kejahatan sistemik dan terus-menerus menelurkan bibit tragedi. Lantas, usaha menghapus kejahatan luar biasa ini hanya semboyan atau janji politik semata? Wallahualam.

Manusia nusantara sungguh luhur nilai yang dikandung oleh budayanya. Dalam menghadapi kesulitan hidup, mereka dapat bertahan walau hanya berbekal sepotong kalimat, bukan roti apalagi potongan emas, yang berbunyi; kita harus pandai bersyukur. Mereka tidak menuntut banyak dari hidup tapi menderita oleh keadaan.

Di balik pernyataan ‘pandai bersyukur’ di atas, tersembunyi harapan; semoga di masa akan datang benar-benar akan datang pemimpin atau wakil rakyat yang bisa menjamin kesejahteraan. Kira-kira seperti itulah hasrat atau harapan yang selama ini tak bisa keluar lewat mulut karena kita sibuk mempertahankan diri sekedar untuk bisa mengisi perut. Secara otomatis yang diuntungkan dari sikap seperti ini adalah koruptor.  

Meski mengawali tulisan ini dengan memojokkan salah satu aspek penting dalam birokrasi bangsa, saya tidak menutup mata pada aspek-aspek lainnya dalam hal kausa tragedi korupsi di bangsa ini. Bukan hanya sistem pemerintahan yang korup tetapi sebagian besar rakyat yang menghujat juga sama korupnya.

Pemerintah dan rakyat bersama-sama mengumandangkan anti korupsi. Secara kompak menyatakan sikap, membenci, serta berusaha menghilangkan korupsi. Pada kenyataannya, aksi sunat menyunat dana masih saja terjadi. Masyarakat yang berhadapan dengan birokrasi kompleks juga rela dan senang hati memotong antrian dengan menyogok petugas. Ibarat orang mengaji, Al-qur’an yang dibaca hanya sampai tenggorokan.

Dalam perjalanan memperbaiki kondisi morat-marit republik ini, sejarah mencatat bahwa bangsa Indonesia beberapa kali melahirkan generasi dari kandungan pergolakan politik nusantara. Masa pergolakan 1965 yang kala itu menghasilkan angkatan 66, sekarang banyak tampil di muka publik nusantara sebagai tokoh bahkan pemegang kuasa negeri ini.  Kemudian disusul pada tahun 1974, yakni heboh mahasiswa dalam menentang hegemoni Jepang. Lahir juga angkatan baru di kala itu. Singkatnya kemudian, tak kalah hebohnya adalah reformasi 1998 yang juga menelurkan bibit baru sebagai angkatan 98. Secara nawaitu, aksi, idealisme, penolakan, keberanian, para angkatan tersebut berhasil menciptakan suasana baru dalam republik. Tetapi apa yang mereka ciptakan tidak berjalan sesuai dengan idealisme yang digagas. Masalahnya dimana ya?

Tanpa perlu repot-repot menjelaskan kegagalan angkatan di atas. Saya mengira bahwa kita semua dapat memberi nilai raport untuk itu semua berdasarkan pengamatan dan yang dirasakan masing-masing. Kita masih jauh dari cita-cita.

Saya ingin mem-propose sebuah pemikiran bahwa yang seharusnya lahir dari setiap angkatan, baik sekolah maupun universitas adalah karakter mulia. Sikap serta kebiasaan yang luhur budi pekertinya. Orang-orang yang bukan hanya pintar secara akademis tetapi dapat dipercaya untuk mengemban amanat. Lulusan-lulusan yang brilian dengan niat tulus untuk membentuk bangsa ini menjadi lebih baik. Manusia yang manusiawi.

Alasan mengemukakan karakter mulia semata-mata karena kita sedang berbicara tentang kualitas manusia. Tolok ukur kualitas manusia (yang dibahas di sini) dari sudut pendidikan, bukan hanya pintar tetapi mempunyai pikiran dan kebiasaan yang sama-sama baik. Karena pikiran dan kebiasaan melahirkan karakter. Olehkarena itu, perang melawan korupsi tanpa didampingi karakter mulia akan menjadi sia-sia. Kita tak bisa bertumpu hanya pada pedang hukum saja.

Jika korupsi adalah pohon, seharusnya yang dipotong-potong oleh mata pedang hukum adalah batang serta akarnya. Apa yang menjadi batang serta akar korupsi adalah karakter pincang yang dimiliki oleh sebagian besar manusia nusantara. Selamanya kita hanya menyia-nyiakan umur untuk menumpas ranting tanpa pernah berhasil memusnahkan korupsi dari root-nya. Dan selamanya juga pendidikan, agama, dan hingar-bingar kehidupan nusantara akan menumbuhkan budaya serta karakter palsu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun