Mohon tunggu...
Bambang Trihatmojo Respati
Bambang Trihatmojo Respati Mohon Tunggu... Buruh - -

Seorang awam yang gemar mengomentari tentang banyak hal tanpa berbasis data dan teori.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebebasan Berpendapat

13 Februari 2021   22:04 Diperbarui: 13 Februari 2021   22:30 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"One's liberty ends where other's begins."

Kebebasan sudah seharusnya tidak tak terbatas. Kebebasan seseorang berbatasan di kebebasan orang lain. Contoh yang terbilang sederhana adalah kebebasan dalam mengayunkan tangan. 

Setiap orang bebas untuk mengayunkan tangannya tapi kebebasan tersebut akan harus berakhir atau berbatasan ketika tangan tersebut berhadapan dengan anggota badan orang lain. Dari kebebasan untuk mengayunkan tangan sejauh rentangan tangan, harus berakhir atau terbatas sehingga hanya bisa mengayunkan tangan sejauh setengah lengan agar tidak menyentuh dan menyakiti orang lain.

Berbicara tentang kebebasan, hal yang cukup krusial belakangan ini adalah soal kebebasan berpendapat. Dan berbicara tentang kebebasan berpendapat akanlah (haruslah?) juga berbicara tentang kebebasan dalam berbeda pendapat. 

Setiap orang akan punya pandangan dan pendapat atas sebuah subjek. Dan dalam sebuah lingkungan yang heterogen, setiap orang akan mempunyai pandangan dan pendapat yang berbeda atas sebuah subjek. Akan ada perbedaan pendapat antar warga dan juga antara warga dan negara.

Yang menjadi persoalan adalah, seberapa bebaskah kebebasan berpendapat yang boleh dimiliki oleh seseorang dan sejauh apakah negara seharusnya menjamin dan mengatur kebebasan tersebut.

Belakangan ini banyak kasus yang berkaitan dengan hal kebebasan mengeluarkan pendapat dan kebebasan berbeda dalam berpendapat. Kasus-kasus tersebut kemungkinan besar timbul karena kacaunya pengakuan dan penjaminan atas kebebasan berpendapat dan penafsiran "kewajaran" sebuah pendapat. 

Wajar dalam artian tidak ofensif dan atau tidak berpotensi berkonsekuensi proses hukum. Pertanyaannya, seberapa tidak wajarkah sebuah pendapat sehingga pendapat tersebut dianggap bisa atau harus dibawa ke jalur hukum?

Ruang kebebasan dalam berpendapat haruslah relatif luas namun harus tetap tidak tak terbatas. Pendapat, seofensif atau sebanal apapun bahkan yang masuk kategori ujaran kebencian (ujaran kebencian berdasarkan definisi di dalam UNITED NATIONS STRATEGY AND PLAN OF ACTION ON HATE SPEECH, Mei 2019) haruslah dilindungi kebebasannya selama pendapat tersebut 1) tidak bernada atau masuk ke dalam kategori fighting words yang berisi ajakan untuk menyakiti dan atau mengancam keselamatan hidup seseorang, dan 2) tidak terbukti dalam persidangan bahwa ujaran kebencian tersebut menjadi sebab atau digunakan sebagai landasan tindakan kekerasan yang menyakiti atau mengancam keselamatan seseorang. 

Dengan kata lain, semua pendapat adalah wajar selama tidak berisi atau bernada ajakan untuk menyakiti atau mengancam keselamatan satu atau sekelompok orang.

Contoh, dalam konteks antar warga, berpendapat secara terbuka bahwa gaya hidup/orientasi/dogma/doktrin X dan penganut/pelakunya sebagai sesat haruslah dijamin kebebasan pengutaraannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun