Mohon tunggu...
Bambang Trihatmojo Respati
Bambang Trihatmojo Respati Mohon Tunggu... Buruh - -

Seorang awam yang gemar mengomentari tentang banyak hal tanpa berbasis data dan teori.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Konsekuensi Bekerja dari Rumah

6 April 2020   22:29 Diperbarui: 10 April 2020   10:05 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bekerja dari rumah. (Sumber: Shutterstock/fizkes via kompas.com)

Dari sekian banyak dampak dari isolasi dan distancing bagi kehidupan sosial seseorang, keharusan bekerja dari rumah, selanjutnya disingkat menjadi WFH (Work From Home), sebagai bagian dari proses isolasi dan distancing juga berdampak besar terhadap para pekerja. Dampak positif dan juga negatif.

Pertama, dampak positif. Hal positif bagi para pekerja kantoran dari keharusan WFH selain memperkecil kemungkinan tular menulari penyakit di antara pekerja di tempat kerja antara lain bertambahnya waktu untuk berinteraksi dengan keluarga dan evaluasi soal pekerjaan apa yang akan tetap bisa dilakukan dan diselesaikan secara efektif tanpa harus berada di kantor.

Jika dilihat dari efektivitas dan efisiensi komunikasi, komunikasi non tatap muka dan komunikasi tatap muka punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. 

Tapi toh tidak semua pekerjaan itu harus dilakukan di bawah pengawasan pihak lain dan atau membutuhkan komunikasi yang konstan dengan pihak lain. 

Beberapa pekerjaan, terutama yang ber-output-kan produk non fisik semacam laporan saya rasa akan bisa dilakukan tanpa harus berada di kantor. 

Apalagi dengan bantuan teknologi di masa sekarang yang bisa memungkinkan seorang pekerja terkoneksi dengan jaringan kantor dan bisa mengkases resources dari kantor tanpa harus terhubung langsung dengan intranet  atau berada di kantor.

Jika kondisi isolasi ini berkepanjangan dan hasil dari pekerjaan yang dilakukan dari rumah mempunyai kualitas output yang sama atau bahkan melebihi kualitas output dari pekerjaan yang dilakukan di kantor, saya rasa akan bijak kalau kantor mulai mengevaluasi fleksibilitas jam kerja para karyawan. Terutama bagi karyawan perempuan.

WFH juga bisa mengurangi kemungkinan  pelecehan seksual terhadap perempuan di tempat kerja dan di jalan sepulang kantor. Mungkin tidak ada angka resminya, tapi saya rasa angka pelecehan seksual di tempat kerja oleh rekan sekantor tidaklah nol.

Dan angka korban pelecehan yang tidak berani melaporkan tindakan pelecehan karena satu dan lain hal juga tidaklah nol. Kesempatan bekerja dari rumah akan bisa meringankan beban psikologis mereka yang terpaksa harus bergelut dengan kecemasan dan trauma ketika harus bertemu setiap hari dengan orang yang melecehkan mereka. 

Soal berkurangnya kemungkinan pelecehan seksual di jalan pulang, setidaknya para pekerja perempuan akan bisa mengerjakan pekerjaan mereka hingga larut malam di tempat tinggal masing-masing. 

Dengan WFH, meski hingga larut malam, mereka tidak perlu menghadapi resiko harus berada di jalan ketika malam sudah larut.

Lalu, soal dampak negatif dari WFH. Idealnya, bekerja dari rumah adalah bekerja dan mengerjakan pekerjaan secara normal layaknya berada di kantor. Yang membedakan, antara lain, adalah tempat dan fleksibilitas busana yang dipakai. 

Tempat kerja yang berupa tempat tinggal sendiri adalah salah satu faktor yang bisa membuat WFH menjadi tidak efektif dan bukan tidak mungkin malah menjadi beban tambahan bagi para pekerja. Terutama pekerja perempuan yang sudah berkeluarga.

WFH berarti berada amat sangat dekat dengan tempat di mana urusan domestik berpusat. WFH bisa menjadi beban tambahan bagi pekerja perempuan karena pekerja perempuan akan diharapakan juga mengerjakan urusan domestik berbarengan dengan urusan pekerjaan. 

Beban mengerjakan urusan domestik yang berbarengan dengan mengerjakan urusan pekerjaan malah akan berpotensi menegasikan cita-cita work life balance.

Berangkat dari kondisi di atas, WFH haruslah disikapi secara profesional oleh masing-masing pasangan. Jika kedua belah pihak adalah pekerja dan suami kebetulan tidak harus WFH, dia haruslah mengerti bahwa istri mereka berada di rumah adalah untuk bekerja juga.

Berada di rumah bukan berarti si istri harus lebih fokus ke mengurusi urusan domestik di samping mengurusi urusan pekerjaan secara berbarengan.

Dan bagi suami yang kebetulan harus WFH, dia haruslah berbagi beban urusan domestik secara adil dengan istri. Urusan domestik adalah urusan kedua belah pihak dan kedua belah pihak punya tanggung jawab yang sama.

Di Indonesia, pembebanan beban domestik masihlah dititikberatkan pada salah satu pihak dan kaum perempuan masih dipandang sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam hal urusan domestik. Dan memprioritaskan pekerjaan yang bisa dikerjakan dari rumah kepada kaum perempuan (terutama yang berkeluarga) atau mengizinkan pekerja perempuan (terutama yang berkeluarga) yang pekerjaannya bisa dikerjakan dari rumah untuk mengatur pembagian jam kerja di kantor dan di rumah saya rasa akan dipandang sebagai gesture yang positif dalam usaha mewujudkan cita-cita work life balance.

Selanjutnya pemberian izin WFH bagi kaum pekerja pria yang istrinya bekerja haruslah diwacanakan agar kaum pria juga bisa berpatisipasi dalam hal mengurus beban domestik.

Selain dampak positif dan negatif di atas, WFH juga berarti meningkatnya intensitas dan frekuensi kebersamaan yang berpotensi meningkatkan gesekan di antara pasangan.

Gesekan yang lama dan berkelanjutan tanpa jeda, ditambah dengan rasa bosan atau depresi akibat isolasi dan distancing, dan mungkin ditambah oleh rasa depresi karena pembagian beban domestik yang tidak adil akan bisa berakhir konflik yang amat hebat. WFH dalam waktu yang panjang akan menuntut kedewasaan dari masing-masing pasangan.

Sayangnya (atau untungnya?) WFH ini sepertinya baru bisa diterapkan bagi mereka yang pekerjaanya lebih bersifat paperwork. 

WFH tidak akan atau belum bisa diterapkan bagi pekerja yang pekerjaanya mennuntut kehadiran fisik seperti mengoperasikan mesin alat produksi, mengawasi jalannya proses produksi, atau pelayanan yang sifat layanannya mengharuskan si pekerja hadir di tempat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun