Mohon tunggu...
Breh
Breh Mohon Tunggu... Siswa

Main game

Selanjutnya

Tutup

Book

Analisis Artikel dan Artikel Tanggapan

16 Oktober 2025   00:17 Diperbarui: 16 Oktober 2025   00:17 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Artikel "Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu" karya F. Rahardi menarik karena bisa mengangkat hal yang tampak sepele menjadi bahan renungan tentang kondisi bangsa. Penulis menjelaskan bahwa banyaknya ulat bulu sebenarnya tidak berbahaya bagi lingkungan atau kesehatan, tapi rasa takut berlebihan masyarakat justru membuat hal itu jadi masalah. Dari sini, Rahardi menghubungkan kejadian alam tersebut dengan keadaan sosial dan politik di Indonesia.

Cara Rahardi menyampaikan ide cukup unik. Ia tidak hanya mengambil pendapat dari sumber lain, tapi juga menceritakan pengalamannya melihat kupu-kupu di lahan petani Purwakarta. Ia menjelaskan bahwa ulat bulu akan berubah menjadi kupu-kupu, jadi seharusnya dianggap sebagai bagian alami dari siklus hidup, bukan bencana. Dengan gaya sindiran, Rahardi membandingkan ketakutan masyarakat terhadap ulat bulu dengan kepanikan para pemimpin politik yang takut kehilangan kekuasaan.

Akhirnya, artikel ini mengingatkan bahwa ketakutan berlebihan hanya menimbulkan masalah baru. Fobia ulat bulu menjadi lambang dari ketakutan yang lebih besar di negeri ini mulai dari kurangnya kepercayaan rakyat pada pemerintah hingga ketakutan pemimpin akan kehilangan jabatan. Menurut Rahardi, hal yang lebih berbahaya dari ulat bulu adalah rusaknya moral, politik, dan kepemimpinan bangsa.

Tulisan ini mengajak kita untuk lebih tenang dan bijak menghadapi peristiwa di sekitar kita. Jangan mudah panik atau takut, tapi coba lihat akar masalahnya. Ketakutan dalam bentuk apa pun, apalagi jika dialami banyak orang dan berlangsung lama, hanya akan merugikan diri sendiri, seperti yang digambarkan Rahardi dalam istilah "republik hantu."

Editorial "Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal" berisi kritik tajam terhadap pemerintah dalam menangani kasus pagar laut di perairan Banten. Artikel ini tidak hanya menyoroti lemahnya pemerintah dalam menyelidiki kasus itu, tapi juga menjelaskan bagaimana pagar laut sepanjang 30 kilometer dari bambu tersebut bisa dibangun. Menurut penulis, penyelidikan seharusnya tidak sulit karena proyek itu melibatkan banyak pihak yang mestinya mudah dimintai keterangan. Dengan bukti yang ada, aparat seharusnya bisa menemukan siapa dalang di balik proyek ilegal tersebut.

Tempo menyampaikan gagasan dengan jelas dan teratur. Selain mengkritik, artikel ini juga memberi saran. Penulis menegaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto tidak boleh menganggap remeh kasus ini. Ia harus memastikan penyelidikan berjalan serius hingga pelaku utama ditangkap. Kalau tidak, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah bisa makin turun dan bahkan menimbulkan konflik sosial.

Dari ulasan ini, terlihat bahwa masalah pagar laut bukan hanya soal batas wilayah laut, tapi juga mencerminkan kemampuan pemerintah dalam menangani hukum, lingkungan, dan tata ruang. Penulis mengingatkan bahwa proyek besar seperti PIK 2 Tropical Coasland punya banyak masalah dan sentimen negatif yang perlu diperhatikan. Karena itu, pemerintah perlu segera menyelesaikan kasus pagar laut ilegal ini, meninjau ulang proyek-proyek besar yang bermasalah, dan mengembalikan kepercayaan publik. Jika dibiarkan, ketidakpastian hukum akan merugikan masyarakat dan membuat rakyat makin tidak percaya pada negara.

Artikel "Ketika Etika dan Sumpah Menjadi Teks Mati" karya Budiman Tanuredjo berisi kritik keras terhadap hilangnya keteladanan dalam kepemimpinan bangsa. Penulis mengutip sumpah anggota DPR yang seharusnya menjadi janji suci untuk menjalankan amanah rakyat sesuai konstitusi dan Pancasila. Namun kini, sumpah itu seakan hanya tulisan kosong yang tidak lagi dihayati karena banyak wakil rakyat lebih mementingkan kepentingan politik pribadi.

Dengan gaya yang mengajak pembaca berpikir, penulis mengingatkan tentang Reformasi 1998 yang berhasil menumbangkan Orde Baru. Enam tuntutan reformasi seperti pemberantasan korupsi dan penegakan hukum seharusnya masih menjadi pegangan bangsa ini. Tapi setelah lebih dari dua puluh tahun, sebagian besar tuntutan itu belum benar-benar terwujud. Justru krisis keteladanan makin terasa karena bangsa ini kehilangan pemimpin yang jujur dan berintegritas.

Penulis menyebut tokoh-tokoh seperti Mohammad Hatta, Agus Salim, Nurcholish Madjid, Buya Syafii Maarif, Gus Dur, dan IJ Kasimo sebagai contoh pemimpin yang mengutamakan kepentingan bangsa di atas pribadi. Namun, sosok seperti mereka kini sulit ditemukan.

Dari ulasan ini terlihat bahwa masalah bangsa masih sama: ketidakadilan ekonomi, hukum yang lemah, korupsi, dan hilangnya teladan moral. Tanpa adanya pemimpin yang kuat dan berani memperbaiki keadaan, bangsa ini akan terus terjebak dalam krisis panjang. Artikel ini menjadi ajakan bagi kita untuk kembali menghayati nilai-nilai etika dan sumpah jabatan agar benar-benar diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun