Pagi ini, begitu membuka mata dan meraih ponsel, ada satu pesan di WhatsApp yang membuat saya terdiam lama. Kabar itu bergulir pelan di layar, tapi seolah memekik di kepala. Ozzy Osbourne meninggal dunia.
Mula-mula saya kira itu hanya kabar iseng yang biasa berseliweran, sebuah hoaks yang bisa disangkal dengan mudah.
Namun usianya, pikir saya kemudian, memang sudah senja. Dan meski saya ingin percaya Ozzy tak akan pernah mati, karena keliaran yang selalu tampak abadi itu, kabar tersebut tetaplah fakta.
Deretan teks kabar lelayu itu pun menatap saya, dingin, dengan tanggal yang pasti.
Yang membuat saya lebih tak percaya, baru beberapa minggu lalu, 5 Juli 2025, Black Sabbath menggelar konser perpisahan mereka. Cuplikan-cuplikan videonya berseliweran di media sosial, penuh api, penuh nostalgia.
Wajah tua Ozzy, masih dengan gaya khasnya, tangan terentang, mata liar, suara serak yang tak pernah benar-benar patah. Bedanya, ia duduk di singgasana yang sialnya tampak begitu pantas dan megah untuk dirinya.
Bagi saya dan mungkin bagi banyak dari generasi sepantaran, Ozzy seperti seseorang yang tak tunduk pada aturan umur.
Ia menua, tentu saja. Namun tidak mati-mati juga. Kegilaan itu yang menjaganya tetap di sana, di atas panggung, di balik berita, di bawah bayang-bayang hitam musik yang ia bawa.
Saya ingat, salah satu yang paling lekat bagi saya justru datang bukan dari musiknya, melainkan dari sebuah film biopik The Dirt, kisah Motley Crue.
Di sana ada Ozzy berjalan sempoyongan, menatap kosong tapi penuh rencana, lalu menunduk dan menghirup barisan semut di lantai dengan sebuah sedotan, di depan anggota Motley Crue yang ternganga.