Mohon tunggu...
KOMENTAR
Music

All Aboard! Ozzy Osbourne Naik Crazy Train untuk Terakhir Kalinya

23 Juli 2025   21:56 Diperbarui: 23 Juli 2025   21:56 201 2
Pagi ini, begitu membuka mata dan meraih ponsel, ada satu pesan di WhatsApp yang membuat saya terdiam lama. Kabar itu bergulir pelan di layar, tapi seolah memekik di kepala. Ozzy Osbourne meninggal dunia.

Mula-mula saya kira itu hanya kabar iseng yang biasa berseliweran, sebuah hoaks yang bisa disangkal dengan mudah.

Namun usianya, pikir saya kemudian, memang sudah senja. Dan meski saya ingin percaya Ozzy tak akan pernah mati, karena keliaran yang selalu tampak abadi itu, kabar tersebut tetaplah fakta.

Deretan teks kabar lelayu itu pun menatap saya, dingin, dengan tanggal yang pasti.

Yang membuat saya lebih tak percaya, baru beberapa minggu lalu, 5 Juli 2025, Black Sabbath menggelar konser perpisahan mereka. Cuplikan-cuplikan videonya berseliweran di media sosial, penuh api, penuh nostalgia.

Wajah tua Ozzy, masih dengan gaya khasnya, tangan terentang, mata liar, suara serak yang tak pernah benar-benar patah. Bedanya, ia duduk di singgasana yang sialnya tampak begitu pantas dan megah untuk dirinya.

Bagi saya dan mungkin bagi banyak dari generasi sepantaran, Ozzy seperti seseorang yang tak tunduk pada aturan umur.

Ia menua, tentu saja. Namun tidak mati-mati juga. Kegilaan itu yang menjaganya tetap di sana, di atas panggung, di balik berita, di bawah bayang-bayang hitam musik yang ia bawa.

Saya ingat, salah satu yang paling lekat bagi saya justru datang bukan dari musiknya, melainkan dari sebuah film biopik The Dirt, kisah Motley Crue.

Di sana ada Ozzy berjalan sempoyongan, menatap kosong tapi penuh rencana, lalu menunduk dan menghirup barisan semut di lantai dengan sebuah sedotan, di depan anggota Motley Crue yang ternganga.

Nikki Sixx kemudian membenarkan bahwa itu benar-benar terjadi, satu dari banyak adegan absurd dalam tur mereka.

Lalu ada lagi adegan tantangan kencing di lantai. Nikki yang ragu, Ozzy yang malah menjilat lantai itu sendiri. Tak terbayangkan, tapi begitulah Ozzy. Tubuh yang terlalu liar bagi akal sehat, jiwa yang tak pernah mau tunduk.

Jauh sebelum film itu, saat saya masih remaja dan musik metal masih terdengar samar, nama Ozzy Osbourne dan Black Sabbath sudah duluan terekam.

Dari sebuah majalah lawas milik kakak saya, saya membaca tentang malam ketika ia menggigit kepala kelelawar di atas panggung, darah dan bulu bercampur, penonton berteriak entah karena kagum atau ngeri.

Momen ketika saya membaca lembaran majalah itu masih begitu jelas di ingatan. Saat itu, saya lebih dulu mengenal namanya daripada lagu-lagunya. Sebelum riff-riff gelap Sabbath meresap ke telinga saya, yang tersisa hanyalah sebuah dongeng tentang Prince of Darkness, seorang lelaki yang terlalu gila untuk dunia yang terlalu waras.

Hari ini, saya harus percaya akhirnya Ozzy pun mati. Tapi dalam kepala saya, ia tetap berdiri di sana, di bawah sorot lampu, dengan senyum sinting dan tangan terbuka. Ia seperti sedang bersabda bahwa bahkan kematian pun hanya sebuah panggung.

Saat ini saya membayangkan, nun jauh di sana. Randy Rhoads sudah berdiri menunggunya. Dengan rambut pirang tergerai, jemarinya sudah siap menyapa fretboard lagi. Mereka mungkin saling pandang sebentar lalu terdiam, seperti waktu yang hilang selama puluhan tahun sedang dirajut kembali.

Di ujung sana, Lemmy duduk dengan rokok dan whiskey di tangan, mengangguk pelan, memberi restu. Dan Dio, dengan jubah gelapnya, mengangkat tangan dengan devil horns, menyambut sang Prince of Darkness pulang.

Lalu Ozzy, dengan tawa seraknya, merangkul Randy, berteriak seperti dulu: "All aboard!"

Dan bersama-sama mereka naik lagi ke atas Crazy Train, meluncur ke langit tak berujung.

Suara gitarnya meraung, suara Ozzy melolong. Dan saya, di bumi ini, hanya bisa mendengar gema kecilnya, sambil tersenyum getir. Masih terdengar. Masih liar. Masih abadi.

"I'm going off the rails on a crazy train..."
***


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun