Mohon tunggu...
Boydo Saragih
Boydo Saragih Mohon Tunggu... Pemerhati Hukum

Mahasiswa S1 Ilmu Hukum UNSRAT Manado, konsentrasi di bidang Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Membaca Pidato Prabowo di PBB: Pertahanan Nasional vs Kewajiban Konstitusional Melawan Penjajah

25 September 2025   13:34 Diperbarui: 25 September 2025   13:34 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Prabowo Subianto saat pidato di PBB (ANTARA FOTO/FATHUR ROCHMAN) 

Pidato Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bulan September 2025 menimbulkan beragam tafsir. Secara garis besar, Presiden menekankan pentingnya solusi dua negara, membuka opsi pengakuan terhadap Israel bila Palestina juga diakui, serta menawarkan kontribusi pasukan perdamaian Indonesia untuk menjaga stabilitas pasca-konflik. Dari sudut pandang diplomasi, langkah tersebut bisa dipahami sebagai strategi "defensif" untuk menempatkan Indonesia sebagai aktor yang moderat, pragmatis, dan tidak konfrontatif. Namun, apabila dianalisis dari perspektif hukum internasional dan amanat konstitusional Indonesia, sikap tersebut menyimpan problem serius.

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas menyatakan: "Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan." Kalimat ini bukan sekadar idealisme, melainkan arah fundamental politik luar negeri Indonesia. Konstitusi secara jelas menggariskan keberpihakan Indonesia pada perjuangan bangsa-bangsa yang masih berada dalam belenggu penjajahan.

Dalam konteks ini, konflik Israel--Palestina adalah bentuk penjajahan kontemporer. Sejak 1948, rakyat Palestina mengalami pengusiran massal, perampasan tanah, dan kehilangan kedaulatan. Setelah Perang Enam Hari 1967, Israel menduduki Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza, serta membangun pemukiman ilegal yang hingga kini bertentangan dengan hukum internasional. Fakta-fakta ini tidak dapat dipisahkan dari pernyataan konstitusional Indonesia yang melarang segala bentuk penjajahan. Dengan demikian, posisi resmi negara seharusnya lebih dari sekadar menawarkan jalan tengah; seharusnya menyuarakan penolakan tegas terhadap praktik kolonialisme modern.

Dari sudut pandang hukum internasional, apa yang terjadi di Gaza pasca 7 Oktober 2023 mengindikasikan terjadinya kejahatan internasional serius. Statuta Roma 1998 yang menjadi dasar Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengkualifikasikan genocide, crimes against humanity, dan war crimes sebagai kejahatan paling serius yang mengancam perdamaian dunia.

Serangan Israel yang menargetkan permukiman sipil, penggunaan blokade terhadap bantuan kemanusiaan, penghancuran fasilitas vital seperti rumah sakit, hingga jatuhnya puluhan ribu korban jiwa sipil, memenuhi elemen kejahatan tersebut. Tidak hanya Israel, negara-negara yang secara aktif memberikan bantuan senjata dan dukungan politik, terutama Amerika Serikat, dapat dipandang terlibat secara tidak langsung melalui doktrin aiding and abetting dalam hukum pidana internasional.

Dengan landasan ini, Indonesia sebenarnya memiliki legitimasi kuat untuk menuntut agar Israel dan pihak pendukungnya diproses di ICC. Bahkan, langkah diplomatik semacam itu justru mempertegas konsistensi Indonesia dalam memperjuangkan rule of law internasional.

Pidato Prabowo di PBB terlihat mengedepankan kalkulasi realistis. Sikap ini dapat dipahami dalam kerangka teori hubungan internasional yang menekankan kepentingan nasional (national interest) di atas segalanya. Dengan membuka opsi pengakuan Israel, Indonesia berusaha menjaga relasi baik dengan negara Barat dan menempatkan diri sebagai aktor "moderator" dalam konflik. Tawaran pasukan perdamaian juga memperlihatkan orientasi pertahanan nasional sebagai kontribusi praktis, bukan sekadar retorika.

Namun, strategi semacam ini pada akhirnya hanya menguntungkan posisi Indonesia di percaturan global, tanpa menunjukkan keberanian moral. Indonesia seolah berhenti pada level "diplomasi defensif" menghindari konfrontasi keras dengan kekuatan besar, tetapi juga tidak tampil tegas dalam menegakkan amanat konstitusi. Padahal, politik luar negeri Indonesia seharusnya tidak hanya bertumpu pada realisme, melainkan juga idealisme yang sudah menjadi identitas sejak era Konferensi Asia-Afrika dan Gerakan Non-Blok.

Baca juga: Arah Generasi

Di sinilah letak kontradiksi utama. Di satu sisi, konstitusi mengikat Indonesia untuk melawan segala bentuk penjajahan. Di sisi lain, praktik diplomasi Indonesia di bawah Prabowo tampak lebih diarahkan untuk menjaga "safe zone" bagi kepentingan nasional jangka pendek. Sikap kompromistis ini mungkin memberi keuntungan dalam hal hubungan bilateral atau reputasi di forum internasional, tetapi berpotensi menggerus kredibilitas moral Indonesia sebagai negara yang sejak awal berdiri di garis depan anti kolonialisme.

Seharusnya, Indonesia menggunakan forum PBB bukan hanya untuk menyampaikan dukungan terhadap solusi dua negara, melainkan juga untuk:

  1. HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Hukum Selengkapnya
    Lihat Hukum Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun