Mohon tunggu...
Bonefasius Zanda
Bonefasius Zanda Mohon Tunggu... -

Pendidik SMA Katolik Regina Pacis Bajawa-Flores-NTT

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Politisi Tunggu Momen?

12 Februari 2019   17:07 Diperbarui: 12 Februari 2019   20:43 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada suatu pertemuan, salah seorang politisi muda yang baru pertama nyaleg berkeluh kesah. "Ini momen saya maju sebagai calon legislatif, karena berikutnya sudah muncul banyak generasi baru," katanya sedikit merayu yang hadir. Salah seorang tokoh bicara dengan suara serak. Karena tak terlalu jelas, suasana berubah hening mencermati. Tokoh itu hanya bilang, "Engkau masih muda. Engkau harus terus ciptakan momen untuk memberi dulu. Memberi solusi-solusi kecil mengatasi masalah rakyat. Sudah bekerja hal-hal kecil dan mencintai hal-hal kecil. Bukan mengejar momen untuk dirimu."

Berhubung Pilpres dan Pileg 2019 sebentar lagi dirayakan, maka kisah di atas, bisa dijadikan sebagai awasan bagi masyarakat pemilih sekaligus menjadi bahan introspeksi diri bagi para calon pemimpin baik tingkat pusat hingga tingkat daerah. 

Ada dua variabel penting yang termaktup di dalamnya. Pertama, politisi tunggu momen. Tak dapat dimungkiri bahwa pesta demokrasi lima tahunan itu telah menjadi momen bagi para politisi untuk berlomba-lomba menjadi caleg. Opsi menjadi caleg pun menjadi sangat primadona. 

Dan kisah di atas, mau menegaskan bahwa kebanyakan politisi-politisi saat ini memang demikian adanya. Soal tidak memiliki kapasitas diri yang mumpuni serta belum pernah menciptakan momen-momen untuk berbuat dan melayani banyak orang, itu soal kemudian. 

Bahkan baru tamat kuliah, pengangguran serta drop out Perguruan Tinggi misalnya, tapi memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk nyaleg. Ini yang namanya, nafsu Kuda tapi tenaga ayam pedaging.

Selain itu, saat ini juga ada realitas yang sangat buruk yang sedang terjadi sekaligus menjadi trending topik dalam dunia politik tanah air yakni ada 49 caleg yang eks koruptor yang memaksakan dirinya untuk bertarung lagi pada pesta demokrasi 2019 mendatang. 

Bukankah ini realitas yang memalukan pamor bangsa kita dihadapan bangasa lain? Mana mungkin caleg yang sudah basi masih dijadikan kandidat caleg oleh Parpol pengusung, yang selanjutnya dihidangkan kepada masyarakat pemilih? 

Enthalah sampai kapan politik yang macam ini dirawat terus dalam rahim demokrasi bangsa kita tercinta ini. Akhirnya, caleg-caleg terkait ini, maju dan bertarung dalam pileg tanpa orientasi yang jelas arahnya kemana dan untuk apa. Lucu juga sih! Tapi sudah begitu adanya.

Berhadapan dengan seputar realitas buram yang dipertontonkan oleh Parpol dan juga para politisi bangsa kita kini, maka saya bahkan publik pun tak heran, jika banyak caleg saat ini menyulapkan dirinya seperti pengemis. Mendandani wajah dengan topeng terbuat dari emas. Karenanya, meminta belaskasihan serta menampilkan perilaku sok baik, humanis, serta sosialis menjadi opsi yang paling tepat digunakan. 

Dan jika pada Pemilu dan Pileg 17 April mendatang, caleg-caleg bermaslah ini terpilih, maka jangan heran, mereka akan lebih mementingkan untuk menjaga kekuasaan dan juga mengamankan kepentingan ekonomis hidupnya, keluarganya dan juga parpolnya. 

Fakta ini sangat relevan dengan ungkapan Rushworth Kidder dari Institute for Global Etics dikatakan bahwa hampir  merata di seluruh surat kabar di dunia ini pada umumny dihiasi oleh dua ornament utama yakni bahasa politik dan ekonomi. Bahasa politik selalu bertanya siapa yang menang (who's winning')? Bahasa ekonomi selalu bertanya dimana untungnya (wher the bottom line)?

Dua jenis pertanyaan ini telah meracuni otak dan hati manusia terkhusus para pemimpin dan dampaknya adalah akan tetap ada jarak atau jurang pemisah antara seorang pemimpin dan masyarakat kecil. 

Untuk itu, tipikal caleg-caleg yang macam ini tak perlu dipilih. Sebab, jika tidak, maka rahim demokrasi bangsa kita akan kian rusak. Bahkan akan menjadi sangat murahan.

Kedua, mendengar suara masyarakat. Bahwasanya, setiap politisi yang memutuskan untuk menjadi caleg, sudah sepantasnya harus memiliki  identitas diri. 

Caleg yang memiliki identitas, secara kasat mata akan terlihat melalui kemasan diri yakni memiliki cita-cita, dan visi-misi hidup yang berorientasi pada rasa solidaritas pada diri, sesama dan lingkunganya. 

Ini bisa terjadi, hanya ketika para caleg selalu menempatkan dirinya untuk banyak mendengar, banyak berbuat dahulu (investasi sosial) dan selalu peka pada situasi sosial dan lingkungannya. Sebab identitas diri sangat berkaitan erat dengan sesama yang lain dan juga lingkunganya. 

Bekerja atau berbuat baik bukan berhasrat untuk mendapatkan kekuasaan. Melainkan bekerja atau berbuat baik karena kita diciptakan untuk itu. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Erikson bahwa identitas pada hakikatnya juga bersifat "psikososial", karena identitas adalah "solidaritas batin dengan cita-cita dan identitas kelompok". 

Oleh karena itu, pembentukan identitas diri yang utuh harus dimiliki oleh seorang caleg serta calon pemimpin lainya. Sebab identitas diri selalu mengacu pada sebuah proses yang terjadi dalam inti dari pribadi, juga di tengah-tengah masyarakat serta lingkunganya.

Selain itu, penguatan identitas diri sangat berkaitan erat juga dengan peningkatan kapasitas diri yang melingkupi kecerdasan otak, hati, spiritual dan juga kepribadian. Ini menjadi sangat penting, agar masyarakat tidak boleh salah memilih yang pada akhirnya hanya mampu melahirkan pemimpin dengan identitas yang terpecah dan tidak utuh. 

Untuk itu, mendengar setiap suara masyarakat; baik dalam bentuk teguran keras, kritikan ataupun nasihat-nasihat yang humanis adalah keharusan. 

Dan nasihat seorang petuah sebagaimana termaktup dalam kisah di atas mau melegitemasi bahwa untuk menjadi seorang pemimpin tidak semudah membalikan telapak tangan. Ataupun hanya menunggu momen untuk mengemis. 

Namun lebih daripada itu, haruslah menciptakan sebanyak mungkin momen untuk melakukan berbagai investasi sosial sebanyak-banyaknya tanpa harus menuntut imbalan. 

Sebab sebagai manusia yang adalah makhluk sosial, akan sangat manusiawi sekali, jika ia memilih seseorang berdasarkan apa yang sudah dibuat dan dibuat apa yang sudah dikatakan. 

Ini sangat manusiawi dan realistis. Sehingga harapan bahwa demokrasi sebagai rahim yang melahirkan pemimpin yang unggul disegala aspek dapat terwujud.

Untuk itu, Kidder menyarankan bebarapa solusi diantaranya adalah Seorang pemimpin wajib menghidupi prinsip pendidikan yang berorientasi pada meritokrasi. 

Sebab dengan mengaktualisasikan prinsip yang demikian akan menghilangkan diskriminasi manusia berdasarkan jenis intelegensia tertentu serta menghilangkan sikap pemimpin yang egoistis, rakus, dan kapitalistis. 

Oleh karenanya kerinduan perkawinan antara otak dan hati dapat terwujud sehingga dalam saling hubung inilah, dalam kebersamaan kita dengan yang lain, dan bukan dalam keterasingan dari yang lain, bukan dalam jarak dan jurang yang dalam dengan yang lain, kita akan menemukan kepenuhan hidup lewat jalan demokrasi yang bermartabat dan bermoral tangguh. 

Oleh sebab itu, Stop untuk menjadi politisi yang hanya tunggu momen. Sebaliknya, jadilah politisi yang selalu menciptakan momen bahkan menjemput momen melalui ide-ide cemerlang, karya-karya kecil yang fenomenal namun menghasilkan hal-hal besar yang berdaya guna bagi banyak orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun