Demokrasi yang Tercekik Gas Air Mata
Sejarah bangsa ini berulang kali memberi pelajaran bahwa suara rakyat tidak selalu diperlakukan sebagai suara yang sah. Setiap kali jalanan penuh oleh massa yang menuntut keadilan, negara seakan lupa bahwa demokrasi lahir justru dari keberanian rakyat untuk bersuara. Tragedi yang menimpa Affan Kurniawan pada 28 Agustus 2025 menjadi bukti terbaru dari lingkaran luka itu.
Affan bukan tokoh besar. Ia bukan orator terkenal, bukan pula pemimpin partai. Ia hanya seorang pengemudi ojek online yang turun ke jalan karena menyadari hidup yang ia jalani makin tercekik oleh ongkos hidup yang tinggi dan upah yang tidak menentu. Namun, justru rakyat kecil seperti Affan yang kerap menanggung risiko paling besar. Ketika demonstrasi berlangsung, ia bukan hanya kehilangan waktu mencari nafkah, tetapi akhirnya kehilangan nyawa---terlindas kendaraan taktis aparat.
Kita pernah menyaksikan adegan serupa di masa lalu. Tahun 1998, mahasiswa dan rakyat menggelar demonstrasi besar-besaran menuntut lengsernya Soeharto setelah tiga dasawarsa berkuasa. Gelombang protes dipicu krisis ekonomi, korupsi, dan otoritarianisme yang menutup ruang kebebasan sipil. Di Jakarta, empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas ditembak aparat pada 12 Mei 1998. Kematian mereka menjadi titik balik: ratusan ribu orang turun ke jalan, menuntut reformasi politik. Akhirnya, Soeharto mundur pada 21 Mei 1998. Namun, kemerdekaan yang diraih melalui pengorbanan darah itu seakan tidak pernah benar-benar dihormati oleh negara.
Dua dekade kemudian, 2019, mahasiswa kembali memenuhi jalanan di berbagai kota, menolak revisi Undang-Undang KPK dan RKUHP yang dianggap merugikan rakyat. Di Kendari, Sulawesi Tenggara, dua mahasiswa Universitas Halu Oleh, Randi dan Yusuf Kardawitewas akibat peluru tajam. Sementara di Jakarta dan kota besar lainnya, demonstran disambut dengan gas air mata, pentungan, dan represi aparat. Ironisnya, pemerintah kala itu tetap melanjutkan agenda politiknya, seakan korban hanyalah "biaya sampingan" dari stabilitas negara.
Kini, 2025 menambah satu nama lagi. Affan Kurniawan. Seorang buruh harian, seorang ojek online, seorang rakyat kecil yang suaranya mestinya menjadi inti demokrasi. Ironisnya, korban justru lahir bukan dari elit yang berkepentingan, melainkan dari mereka yang paling rentan. Sejarah ini berulang, dan pola yang sama terus muncul: rakyat bersuara negara represif korban jatuh janji reformasi terkikis.
Apa yang sesungguhnya ditakutkan oleh negara? Mengapa suara buruh dan rakyat miskin kota diperlakukan sebagai ancaman ketertiban, bukan panggilan nurani untuk koreksi kebijakan? Negara lebih nyaman menjaga citra stabilitas demi investor ketimbang memastikan warganya hidup layak. Dalam logika semacam ini, nyawa rakyat kecil lebih murah daripada angka pertumbuhan ekonomi.
Kematian Affan mengingatkan kita bahwa demokrasi bisa menjadi sekadar prosedur tanpa jiwa: pemilu rutin dijalankan, partai politik bersaing, tetapi ruang partisipasi substantif ditutup rapat. Jalanan yang mestinya menjadi "parlemen rakyat" justru diselimuti kawat berduri dan gas air mata.
Esai ini tidak ingin hanya menyalahkan aparat di lapangan. Masalahnya lebih dalam: ada sistem politik yang alergi terhadap kritik, ada elit yang merasa kebenaran hanya milik mereka, ada negara yang lupa bahwa amanah kekuasaan berasal dari rakyat. Tragedi Affan bukan sekadar "insiden kecelakaan," melainkan tanda betapa timpangnya relasi antara negara dan warganya.
Jika 1998 menjadi tanda lahirnya reformasi, dan 2019 menjadi tanda bahwa demokrasi kita tidak pernah stabil, maka 2025 menunjukkan bahwa bangsa ini gagal belajar dari luka-luka masa lalu.
Affan Kurniawan mungkin hanya satu nama. Tetapi di balik namanya, ada pesan keras: demokrasi Indonesia sedang sakit. Dan jika negara terus menutup mata, kita berisiko kembali terjerumus ke dalam kegelapan yang dulu dengan susah payah kita tinggalkan pada 1998.