Mohon tunggu...
Masbom
Masbom Mohon Tunggu... Buruh - Suka cerita horor

Menulis tidaklah mudah tetapi bisa dimulai dengan bahasa yang sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Mentari Naik Sepenggalah

15 September 2019   21:26 Diperbarui: 15 September 2019   21:31 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dokumen pribadi

Seperti biasa, aku terbangun ketika mendengar bunyi alarm dari gawaiku setelah sekian lama. Saat itu pun sebenarnya adzan Subuh juga sedang berkumandang. Tapi aku tidak tahu apakah aku terbangun karena bunyi alarm atau panggilan adzan Subuh itu. Sedangkan mataku masih begitu berat untuk dibuka bukan karena tidurku larut malam. 

Toh pada hari-hari kerja seperti biasanya, meskipun aku tidur larut malam, aku segera terbangun ketika alarm gawaiku berbunyi dan dengan semangat aku pergi ke masjid. Pagi ini aku kembali menarik selimut dan ingin tidur lagi karena hari ini aku libur kerja. Meskipun kalimat terakhir dari suara adzan saat itu seperti menjewer kupingku agar aku cepat-cepat pergi ke masjid.

Tapi hari libur ini benar-benar membuatku malas untuk bangun pagi, apalagi pergi ke masjid. Waktu subuh masih akan berakhir setengah jam ke depan dan lagi aku bisa sembahyang di rumah, begitu pikirku. Rupanya setan masih menggelayut di kelopak mataku. Dua setan lain menutup telinga serta menginjak-injak pintu hatiku. Sehingga aku pun keenakan bermalas-malasan tidak mau beranjak dari peraduanku. Meskipun isteriku telah berkali-kali membangunkanku. Tapi seperti kebiasaan pagiku di hari libur aku sering mengakhirkan waktu sembahyang subuhku. 

"Mas harus bisa merubah kebiasaan mas ini. Tidak baik mengakhirkan waktu sholat," kata isteriku.

Untunglah meskipun rasa kantuk begitu berat aku masih bisa berpikir logis saat mendengar kata-kata isteriku sehingga satu malaikat berhasil menyelinap dalam pikiranku dan mengingatkan akan nasihat Pak Ustadz tempo hari. Bangun pagi untuk mendirikan sholat Subuh itu memang teramat berat bagi yang tidak ikhlas menjalaninya. 

Saat itu dibukakan pintu keselamatan, keberkahan, dan pintu rejeki dari arah yang tidak pernah disangka-sangka oleh manusia dalam perjalanan hidup seharinya ke depan. Hanya orang-orang pilihan yang diberi kemampuan untuk bisa berjamaah subuh di masjid. Begitu kata Pak Ustad. Tapi aku masih belum juga beranjak dari peraduanku. 

Toh dalam satu minggu aku hanya malas sehari. Jadi aku masih bisa mendapatkan semua itu pada hari lainnya, pikirku lagi. Aku tatap malaikat itu untuk meminta persetujuannya. Tapi dia terlihat murung melihat sikapku. Justru ketiga setan itu tertawa-tawa melihat kelakuanku pagi itu. Dan kembali para setan itu begitu bersemangat bergelayut di kedua kelopak mataku sambil meniupinya. Berat terasa mata ini untuk dibuka.

"Kamu benar! Lain hari kamu bisa mendapatkan semua itu. Sekarang tidur lagi saja," kata salah satu setan diiringi dengan tarian kedua setan lainnya.

"Tapi suatu amalan itu tergantung pada niatnya," kata malaikat sambil menatapku tajam. 

"Apa di hari lain itu kamu juga berniat untuk ibadah atau hanya karena kewajiban kerjamu saja hingga kamu terpaksa bangun pagi? Justru pada saat seperti ini kamu harus membuktikan kesungguhan ibadahmu," kata malaikat lagi.

Aku tersadar dan segera beranjak dari peraduanku. Aku mengambil air wudhu, serta bergegas pergi ke masjid. Sampai di sana aku disambut oleh Pak Marbot masjid.

"Alhamdulillah, di hari libur kali ini kita bisa bertemu di masjid seperti hari biasanya, Mas," kata marbot tersenyum sambil menjabat tanganku.

"Eh ... iya, Pak. Saya hanya berusaha untuk istiqomah dalam beribadah. Seperti nasihat Pak Ustadz waktu pengajian tempo hari," jawabku tersipu malu. Ketahuan nih jika hari libur aku sering melewatkan jamaah subuh di masjid. Rupanya beliau memperhatikan aku selama ini.

"Selagi masih muda, sempatkankah berjamaah di masjid, meski itu harus dijalani dengan merangkak, begitu nasihat pak ustadz ..." kata Pak Marbot sambil mempersilakan aku untuk masuk masjid duluan. Sementara beliau akan mengambil air wudhu.

Ada perasaan lega setelah sholat subuh berjamaah di masjid selesai aku tunaikan di hari libur kerjaku. Tentram dan bahagia pagi itu aku bisa beribadah tanpa ada embel-embel kewajiban karena masuk kerja pagi. Suasana ini menginspirasiku untuk menulis sebuah cerita. Dalam perjalanan pulang dari masjid sudah aku pikirkan apa-apa saja yang hendak aku tulis nantinya. Mungkin benar bahwa ini berkah dari Tuhan pada umatnya yang telah bersungguh-sungguh dalam beribadah.

Sampai di rumah dan belum melepas sarung aku mengambil gawaiku bersiap menumpahkan segala ide dari kepalaku. Tetapi kembali aku teringat nasihat Pak Ustad untuk mengawali hari dengan membaca Al-Qur'an sebelum beraktifitas pagi termasuk bermain dengan gawaiku. Sedikit bimbang karena ide-ideku sudah siap untuk kutulis menjadi sebuah cerita. Aku khawatir ideku ini akan segera menguap jika tidak segera aku tuliskan.

Meski begitu dengan berat hati aku meletakkan gawaiku dan memantabkan hati untuk membaca kitab suci Al-Qur'an terlebih dulu. Kembali aku mencoba istiqomah untuk kegiatan pagiku itu. Satu ayat dua ayat aku terhanyut dalam keagungan kalam Ilahi hingga selesai satu surat panjang aku baca pada kesempatan itu.

Setelah selesai aku mengambil gawaiku kembali. Tapi apa, sepertinya aku kehilangan sebagian besar ide ceritaku. Aku tidak bisa menuliskan kalimat pertamaku. Aku berusaha keras untuk mengingat-ingat kembali. Aku menarik napas panjang berkali-kali untuk me-refresh pikiranku. Tapi ide-ide itu belum juga kembali. Aku berdiri dan berjalan berkeliling kamar mencoba untuk memunguti dan mengumpulkan ide-ide yang berserakan. Tapi belum juga bisa menjadi sebuah alinea pertama. Berkali-kali aku tulis, berkali-kali aku delete lagi. Aku pergi ke jendela kamar. Kuhirup udara segar pagi hari dan kutatap indah cahaya mentari pagi. Semua itu tetap tidak bisa menjadi pembuka tulisanku. Aku terlihat mondar-mandir di kamar. Kadang bersandar di dinding, berbaring di peraduanku, duduk di kursi, dan kembali ke jendela kamarku. Bahkan sesekali aku keluar kamar sekedar meneguk air putih dingin. Semua itu aku lakukan untuk memancing ideku agar segera kembali.

Rupanya tingkah lakuku itu tidak luput dari perhatian isteriku yang sedang asyik mengupas satu lirang pisang kepok. Kami sempat beradu pandang. Dan senyum itu begitu manis tersungging di bibir tipisnya. Tapi sialnya, anugerah Tuhan yang ada pada isteriku itu belum bisa memberikan ide untuk tulisanku. Aku seperti di kejar deadline untuk ceritaku ini karena janji Tuhan yang akan memberikan kemudahan dan keberkahan di pagi itu.

Aku hempaskan tubuhku di kursi dan kupandangi lagi gawaiku. Pikiranku benar-benar buntu untuk menulis. Aku mengalami apa yang disebut writer block. Sempat terpikir kembali jika tadi langsung aku tulis ide-ideku mungkin saat mentari naik sepenggalah ini telah terangkai cerita menarik untuk para pembaca di K. Aku menyalahkan diriku sendiri. Tapi segera aku tepis prasangka itu. Aku membuang muka ke arah pintu. Bersamaan dengan itu hadirlah isteriku berdiri di sana sambil membawa sepiring pisang goreng dan teh hangat untukku.

"Berhenti dulu nulisnya. Tidak usah dipaksa jika belum ada idenya. Dari tadi mondar-mandir terus apa tidak capek?" tanya isteriku sambil tersenyum.

"Apa Tuhan telah berbohong padaku? Sedangkan aku telah melaksanakan kewajiban untuk-Nya pagi tadi?" tanyaku sambil kutatap lesu wajah isteriku.

"Tidak, Mas. Tuhan tidak mungkin berbohong. Hanya kita saja yang tidak mau bersyukur atas semua anugerah dan nikmat-Nya. Tuhan pasti akan memberikan jalan dari arah yang tidak pernah kita duga," kata isteriku sambil meletakkan pisang goreng dan teh hangat di meja. Aku mendengarkan penjelasan dari isteriku. Tapi rasa tak percaya ini masih menyelimuti hatiku.

"Ayuk, Mas, dimakan pisang gorengnya. Atau diseruput dulu teh hangat ini. Tidak baik lho menolak rejeki, apalagi buatan isteri sendiri." Kembali mata indah dan senyum manis anugerah Tuhan itu terlukis di wajahnya. Aku pun sedikit terhibur karenanya. Dia kemudian duduk di tepi peraduan.

Aku mengambil teh hangat buatan isteriku dan ikut duduk di sampingnya. Terasa segar membasahi kerongkonganku ketika aku seruput sedikit. Hmm ... sejak awal menikah hingga dianugerahi dua anak, rasa teh buatan isteriku tetap tidak pernah berubah. Manisnya pas dengan sedikit rasa sepet seperti orang Jawa bilang. Susah untuk diungkapkan rasanya, tapi aku pastikan rasa teh buatan isteriku itu tidak akan pernah berubah. Sejenak kutatap wajahnya dan aku belai lembut rambut hitamnya. Dia tetap tersenyum dalam diam. Aku beranjak dan meletakkan kembali gelasku di meja. Hatiku masih gundah memikirkan nasib cerita yang akan aku tulis. Sekali lagi writer block. Apa yang harus aku lakukan? Sebentar kemudian aku berdiri dan melangkah keluar diiringi tatapan heran isteriku.

"Mas ..." Dia menyapaku. Aku hanya menoleh sebentar dan tersenyum sambil terus melangkahkan kakiku ke luar dari kamar. Dia pun tersenyum ketika melihatku menuju tempat wudhu. Aku basuh tangan, muka, dan kakiku. Sebentar kemudian isteriku sudah berdiri di belakangku.

"Aku ikut, Mas." Aku pun mengangguk.

Biarlah saat mentari naik sepenggalah ini belum bisa kutulis sebuah cerita. Asalkan masih Engkau beri hidayah padaku untuk bersujud pada-Mu ....

Solo.15.09.2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun