[caption id="attachment_305277" align="aligncenter" width="300" caption="Warga Manggarai Flores NTT pada sebuah acara adat (foto: floresexotictours.blogspot.com)"][/caption]
Indonesia patut bersyukur sebagai sebuah negara yang merdeka. Miliknya adalah segala apa yang ada dari Sabang di ujung barat hingga Merauke di ujung timur. Segala apa yang ada dari Pulau Miangas hingga Pulau Rote. Tercatat ada ratusan suku daerah dan etnis yang mendiami tiga puluh tiga provinsinya. Ada ratusan bahasa daerah beserta dialeknya masing-masing. Ada ratusan jenis tarian daerah, ratusan jenis pangan lokal, keindahan alamnya yang dipuja dunia, juga beribu kearifan hidup yang menjadi potensi baginya untuk menjadi sebuah bangsa besar yang banyak menyimpan narasi peradaban.
Walau jaman terus bergulir, perubahan semakin niscaya, ia senantiasa berusaha untuk tetap bergeming. Tak membiarkan dahsyatnya gelombang globaliasai yang membuat hubungan antar manusia hampir tak lagi berbatas melukai dan menghantamnya. Sebisa mungkin ia menangkis tantangan memabukkan yang setiap saat menggodanya yang kemudian membuatnya kehilangan identitas dan kekhasan.
Memang, harus juga diakui, perubahan demia perubahan yang dicipatakan dan dihadirkan dunia, membuatnya linglung dan mulai nampak berjalan tanpa arah. Arus informasi yang luar biasa dahysatnya, program-program televisi yang lebih memilih mendustai dan mengkhianatinya, secara perlahan mulai mereduksi identitas dan kekhasannya sebagai sebuah bangsa yang penuh warna kekhasan. Bahasa-bahasa daerah tak lagi seksi untuk dipelajari, tarian-tarian daerah semakin kurang diminati, dan kearifan-kearifan yang dimilikinya semakin hilang dari keseharian. Anasir-anasir yang membentuknya sebagai sebuah bangsa, mulai berbicara kemerdakaan, kebebasan, dan kepongahan. Indonesia kita semakin pudar dari kebhinekaannya.
Pun demikian, dalam lorong gelap tak mau kemana arah untuk bertemu cahaya diujung terowongan, beberapa daerah kebanggaanya tetap berusaha setia pada jalan hidup identitas kedaerahan yang sudah terlanjur mengakar dari generasi ke generasi. Bukan untuk menerjemahkan ulang arti ragam perbedaan yang dikatakan pendiri bangsa terdahulu, namun semata karena sudah menjadi jalan hidup yang tak bisa dipisahkan. Justru, kealpaan akannya membuat ruh kedaerahan yang melekat padanya akan hilang dan tak bernama.
Adalah Manggarai, sebuah daerah di ujung barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur yang menjadi salahsatu diantara daerah yang tetap setia pada ruh kekhasan daerah dalam kesehariannya. Ragam aktivitas hidup yang dilakoni masyarakatnya sedikitnya masih mencerminkan identitas dan kekhasan yang membanggakan. Entah berbentuk kearifan dalam berhubungan dengan sesama dan alam maupun dalam bentuk artefak budaya yang menjadi ciri khas yang dibanggakannya. Dari sekian kearifan dan artefak budaya yang hingga kini masih hidup dalam keseharian warga Manggarai, baik Kabupaten Manggarai sendiri, Kab Manggarai Barat dan Kab Manggarai Timur adalah budaya Reis atau Ruis dan anyaman pandan.
Budaya Reis/Ruis, Kearifan Manggarai dalam Memuliakan Tamu
Reis untuk Manggarai bagian Timur (tana eta) atau ruis/ris untuk Manggarai Barat (kempo) adalah konsep kearifan dalam memuliakan tamu ala orang Manggarai yang masih bertahan hingga hari ini. Adagium yang mengatakan tamu adalah raja benar-benar sangat dipahami oleh orang Manggarai dalam budayanya. Kebaikan dan kerahaman seseorang dalam budaya orang Manggarai dapat diukur dari seberapa jauh pemahaman dan aplikasi ris/ruis ini dalam kesehariannya.
Ris adalah cara penyambutan seorang tuan rumah (ngara sekang) jika ada tamu (mekka) yang berkunjung (lambu) kerumahnya. Setelah tamu masuk kedalam rumah, tuan rumah mempersilahkannya duduk. Entah duduk bersila atau duduk di kursi. Tergantung dari kondisi rumah yang dikunjungi.
Biasanya, setelah sang tamu duduk, tuan rumah (semua tuan rumah yang ada pada saat tamu berkunjung; ayah, ibu, anak yang sudah dewasa) akan menyalami sang tamu. Jika tamunya lebih dari satu, harus menyalami semuanya. Bahkan dalam acara adat resmi seperti pernikahan, semua tamu disalami tak peduli tua muda, kecil besar, kecuali memang masih anak-anak. Setelah salaman, maka disitulah sang tuan rumah melakukan reis/ris.
Mengucap beberapa kalimat dalam Bahasa Manggarai. Diantara kalimat reis/ruis yang sering diucap pada tamu oleh tuan rumah setelah salaman adalah sebagai berikut.
"Mai ce'e bao go ite....?"
"Ngger cee ro ite....?"
"Mau lambu baong....?"
" Nana, mai ce'e baong?"
"Inuk, lako cee baong...?"
Setelah mendengar sang tuan rumah mengucapkan salahsatu kalimat reis/ris diatas, maka sang tamu akan menjawab dengan,
"Ioo.... ite"
"Io...tanta"
:"Iooo... ame"
"Iooo...ine"
Sebenarnya jika dilihat dari struktur kalimat ruis ini sederhana, maka ia berbentuk kata tanya. Arti dalam bahasa Indonesianya kira-kira,
" (kamu) datang tadi...?".
" Nana,,, datang tadi", "
"Inuk,,, kesini tadi?"