Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah Nelayan dan Pensiunan Ugahari, Cermin Mentalitas Antikorupsi

9 Desember 2021   05:34 Diperbarui: 9 Desember 2021   05:38 2099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah nelayan dan pensiunan ugahari cermin antikorupsi -Photo by Vincent Tan from Pexels

Ibarat kanker ganas, korupsi telah merasuki tubuh negeri ini. Adakah jalan keluar untuk mencegah menjalarnya korupsi di hati anak negeri?

Rangkaian pertanyaan itu menunggu jawaban dari aneka kalangan anak bangsa, mulai dari akademisi hingga orang-orang bersahaja yang murni hati. Mari sejenak menimba sebuah kisah kebijaksanaan antikorupsi.

Percakapan pengusaha sukses dan nelayan sederhana

Suatu senja yang syahdu, seorang pengusaha sukses berjalan-jalan di dekat tepian pantai ibu kota. Ia berjumpa dengan seorang nelayan bersahaja yang sedang menjaring ikan di tepi pantai. Nelayan itu baru saja membantu teman-temannya mendorong perahu ke lautan. 

Sambil tersenyum ramah, si nelayan mengucap selamat sore pada sang pengusaha. Sang pengusaha membalas dengan ucapan yang sama.

"Kenapa Bapak tidak membeli perahu? Kredit kan bisa, Pak?" tanya sang pengusaha. Si nelayan menanggapi, "Pak Bos, seandainya saya punya perahu, lalu apa yang akan terjadi dengan hidup saya?"

Sang pengusaha menjawab,"Ya dengan perahu, Bapak bisa menjala lebih banyak ikan dan jadi punya lebih banyak uang "

Si nelayan kembali menanggapi, "Lalu, kalau saya punya lebih banyak uang, apa yang terjadi?"

Si pengusaha kelas kakap berkata, "Ya jika punya lebih banyak uang, Bapak akan bahagia seperti saya ini!"

Si nelayan terdiam sejenak. Setelah menghela nafas, dia berkomentar sambil tersenyum, "Apakah Pak Bos tidak melihat, saya sekarang ini sudah bahagia?"

Budaya Cukup dan Hidup Ugahari

Manusia cenderung tak pernah merasa puas dengan prestasi dan gaji, biarpun sudah tinggi. Sangat langka menemukan insan yang menghayati budaya cukup dan memilih untuk hidup ugahari.

Akan tetapi, sebenarnya cukup banyak insan budiman di sekitar kita, yang memutuskan untuk merasa cukup dengan apa yang dimiliki dan memilih untuk memberikan bantuan pada orang miskin papa dan atau mendedikasikan diri untuk karya sosial. 

Saya mengenal seorang pria, pensiunan pejabat perusahaan kereta api di sebuah negara di Benua Biru. Dengan uang pensiunnya, dia sebenarnya bisa bersantai-santai menikmati hari tua. Bisa liburan ke luar negeri sesuka hati.

Akan tetapi, dia merasakan ada panggilan jiwa untuk bergabung dengan sebuah kelompok pemerhati kaum miskin. Dia ikut membantu kaum imigran dan kaum miskin di sekitar tempat tinggalnya. Dia memilih untuk menggunakan waktu luangnya untuk membantu distribusi makanan pada kaum papa. 

Mobilnya biasa saja. Dengan mobil itulah, dia keliling ke sana ke mari untuk mengumpulkan bantuan dan menyalurkannya pada yang memerlukan. 

Uang bensin dia keluarkan dari kantongnya untuk karya sosial itu. Rugi secara ekonomi, namun dia tampak bahagia menjalaninya. 

Saya tahu, di kelompok pemerhati orang miskin itu, ada saja oknum yang diam-diam korupsi dengan mengambil bantuan yang bukan haknya. Si bapak pensiunan ini tidak melakukan kejahatan semacam itu. Dia jujur. 

Raut wajah si bapak ini selalu bahagia. Sapaannya selalu terasa tulus dan hangat. Itulah buah dari kejujuran hati yang memancar ke luar. 

Seandainya setiap pribadi dan keluarga di Indonesia mendidik diri untuk merasa cukup dan mau hidup ugahari, niscaya korupsi akan dapat kita basmi. 

Jika Tuhan sudah memberikan cukup untuk hidup yang sehat dan bahagia, artinya saatnya kita berbagi pada yang lebih memerlukan. Mengambil hak orang lain dengan korupsi itu ibarat minum air garam. Selalu haus dan haus, tanpa henti. Sampai akhirnya mati karena dehidrasi. 

Salam peduli!

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun