"Tidak apa-apa mencoba. Nanti latihan dulu sebelum tampil," kata ibu guruku. Aku mengiyakan tawaran untuk tampil.
Pada Hari H, aku gugup juga saat tampil di depan. Aku membaca dengan teks yang terlalu ke atas. Ketika selesai upacara, sebagian temanku berkomentar, "Lehmu moco kok ndangak, to?" (Kok tadi baca sambil melihat ke atas langit). Hehehe.Â
Aku tidak marah. Aku anggap celetukan itu adalah candaan penyemangat agar lain kali tidak gugup lagi.Â
Aku menyadari diriku anak dari desa yang harus berusaha keras agar tidak kalah dengan anak-anak kota. Karena tidak mau kalah itu, aku berusaha belajar dengan rajin.
Aku ingat, tempat belajar favoritku di sore hari adalah di atas pohon jambu air. Daun-daunnya yang rimbun melindungiku dari terik matahari. Aku bisa memanjat pohon sambil membawa satu atau dua buku :)
Berkat ketekunanku, di sekolah yang baru aku mendapat nilai yang bagus. Aku sendiri terkejut. Di sekolah lamaku, tadinya nilaiku biasa-biasa saja. Tak pernah masuk tiga besar.Â
Mungkin inilah yang dinamakan ilmu kepepet itu. Ketika terdesak oleh keinginan untuk bisa menunjukkan bahwa anak (dari) desa juga bisa mengikuti pelajaran di kota, prestasiku meningkat.Â
Masuk SMP tak terduga, tapi minder lagi
Hasil Ebtanasku di luar dugaanku sendiri. Aku masih ingat nilaiku saat itu. Nomor cantik identik: 44,44 untuk lima mata ujian pokok. Ibu wali kelasku tersenyum. "Kok bisa kamu dapat nilai kursi terbalik semua?"
Syukur kepada Tuhan, nilai empat kursi terbalik itu ternyata membuatku diterima di SMP terbaik di Jogja kala itu (sepertinya sekarang juga masih demikian).