Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Kapan Indonesia Hukum Laki-laki Pelanggan Prostitusi dengan Sex Buyer Law?

16 September 2020   06:15 Diperbarui: 17 September 2020   14:07 1549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua penyidik reskrim Polres Madiun Kota menggeledah kamar hotel yang digunakan tempat prostitusi online, Selasa (14/1/2019). (Foto: KOMPAS.com/MUHLIS AL ALAWI)

Pelacuran atau prostitusi telah menjadi bagian sejarah manusia sejak ribuan tahun lalu. Kecaman terhadap praktik prostitusi juga tersua dalam sejumlah kitab suci agama-agama. 

Praktik prostitusi berdampak buruk pada ketahanan keluarga. Sering terjadi, ketidaksetiaan pasangan terjadi ketika pasangan menggunakan jasa prostitusi.  Saat diketahui pasangan, hal ini dapat saja memicu terjadinya perceraian.

Selain itu, generasi muda juga kerap terjebak dalam candu prostitusi daring maupun luring. Coba tengok, betapa menjamurnya layanan prostitusi daring yang ditawarkan di media sosial secara terbuka.

Dalam praktik prostitusi, lazimnya wanita pekerja seks komersial (PSK) menjadi korban eksploitasi muncikari dan pelanggan. Ironinya, penindakan hukum sering menjerat pula wanita PSK. 

Kasus penggerebekan di Padang yang melibatkan seorang anggota DPR RI beberapa waktu lalu menjadi contoh nyata. Waktu itu, polisi menangkap pula seorang wanita PSK korban eksploitasi.

Hukum Belum Berpihak pada Korban Eksploitasi

Hukum di Indonesia belum berpihak pada wanita pekerja seks komersial yang dipekerjakan (atau mempekerjakan diri) dalam prostitusi berbayar. Praktik hukum di tanah air kita mengkriminalisasi muncikari dan wanita PSK. Laki-laki pelanggan prostitusi selalu dibebaskan karena memang tidak ada pasal yang menjerat mereka.

Pasal 298 dan 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebenarnya hanya menjerat muncikari, bukan PSK.

Sementara itu, pasal yang digunakan untuk menjerat PSK diatur dalam peraturan daerah. Sering terjadi, pekerja seks komersial dijerat pasal tindak pidana ringan. Hukuman yang dikenakan pada wanita PSK bervariasi sesuai peraturan daerah. 

Di Bali, baru-baru ini hakim menjatuhkan hukuman denda pada PSK berdasarkan tarif saat memberikan layanan seksual pada pelanggan. Lain halnya di Banjarbaru, seorang PSK divonis hukuman penjara tiga bulan pada 2019.

Sudah rahasia umum, ketika terjadi razia, ada oknum aparat kepolisian dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang justru melecehkan dan memeras pekerja seks komersial. Oknum penegak hukum ini memanfaatkan ketimpangan relasi kuasa dengan ikut mengeksploitasi wanita PSK.

Dalam kasus prostitusi online atau daring, polisi biasanya menggunakan pula Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik  (UU ITE). Misalnya, seorang artis ternama yang ditangkap di Surabaya beberapa waktu lalu dikenai pasal penyebaran konten pornografi yang diatur UU ITE.

Ia terbukti mengirimkan foto dan video tak senonoh melalui pesan elektronik pada germonya. Kemudian germo itu menggunakan materi pornografis si artis untuk beriklan pada pelanggan prostitusi.

Negara Maju Hukum Pria Pelanggan Prostitusi

Menariknya, sejumlah negara maju telah menerapkan hukum yang lebih adil dengan menolong PSK dan menghukum pelanggan prostitusi. Sistem hukum yang lebih adil dan manusiawi ini dikenal dengan sebutan model Nordik (Nordic model), Sex Buyer Law, atau the Swedish, Abolitionist, or Equality Model.

Sex Buyer Law atau Model Nordik pertama kali diperkenalkan di Swedia pada 1999. Negara-negara lain yang kemudian ikut menerapkan model Nordik adalah Norwegia, Islandia, Irlandia Utara, Kanada, Prancis, Irlandia, dan Israel.

Sex Buyer Law adalah model hukum nasional yang berupaya memerangi prostitusi dan perdagangan manusia dengan menghukum klien yang memperoleh layanan seksual berbayar.

Dasar pemikiran Sex Buyer Law atau model Nordik adalah bahwa (laki-laki) pelanggan prostitusi dipandang sebagai pemicu eksploitasi (wanita) PSK.  

Negara-negara penganut Model Nordik menghukum pelanggan PSK dengan denda atau hukuman lain, sementara wanita yang melacurkan dirinya atau terjerat eksploitasi dan perdagangan manusia ditawari berbagai proses reintegrasi sosial.

Model Nordik menawarkan solusi atas praktik eksploitasi seksual terhadap pekerja seks komersial dengan tiga pendekatan menyeluruh:

  • Menghentikan kriminalisasi terhadap PSK
  • Menghukum pelanggan atau klien PSK
  • Mendampingi PSK untuk keluar dari dunia gelap prostitusi.

Dalam sebuah diskusi panel, Karin Bolin menjelaskan bahwa undang-undang model Nordik atau Sex Buyer Law yang diberlakukan sejak 1 Januari 1999 telah membuahkan hasil di Swedia. Pelanggan prostitusi diancam dengan hukuman denda atau penjara. Besarnya denda bervariasi, tergantung pendapatan si klien.

Berkat pendekatan ala Sex Buyer Law, warga Swedia makin memandang kaum wanita pekerja seks komersial sebagai korban eksploitasi, bukan pelaku utama prostitusi.

Model Nordik atau Sex Buyer Law yang diterapkan di Swedia terbukti mampu membuat jera laki-laki pelanggan prostitusi. Setelah penerapan model Nordik, makin sedikit pria Swedia yang masih berani menjadi pelanggan prostitusi. Persentase laki-laki Swedia yang menjadi pelanggan PSK pada 1996 adalah 13,6 persen.

Setelah penerapan Sex Buyer Law pada 1999, persentase ini turun menjadi 7.4 persen pada 2014. Pada tahun 2015, hanya 0,8 persen pria Swedia mengatakan dalam jajak pendapat bahwa mereka telah memanfaatkan jasa PSK. Bandingkan dengan hasil jajak pendapat di Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa satu dari lima pria AS membeli layanan seksual.

Menariknya lagi, Sex Buyer Law di Swedia diklaim mampu menekan kekerasan terhadap perempuan dan perdagangan manusia dengan dalih prostitusi. Indikasinya, angka pembunuhan terhadap wanita PSK di Swedia terbilang rendah. Pada 2015, tidak ada kasus pembunuhan terhadap PSK di Swedia. Pada tahun yang sama, tercatat 70 PSK dibunuh oleh muncikari atau klien PSK di Jerman, negara yang melegalkan prostitusi.

Memang benar, penerapan Sex Buyer Law tidak sungguh menghilangkan praktik prostitusi. Mengharapkan prostitusi benar-benar lenyap kiranya adalah suatu utopia mengingat praktik prostitusi ini telah ada sejak ribuan tahun silam di aneka lokasi di dunia. Akan tetapi, Sex Buyer Law rupanya perlahan tapi pasti membuat klien prostitusi jera.

Kapan Indonesia Adopsi Sex Buyer Law?

Jujur, Indonesia yang seringkali mengklaim diri sebagai negara dengan moralitas (keagamaan) tinggi nyatanya sarat prostitusi. Tidak usah malu mengakui fakta ini. Praktik prostitusi daring dan luring menjamur, sering kali tanpa ada penindakan dari aparat kepolisian. Bahkan, kuat dugaan, justru oknum aparat yang membekingi prostitusi, utamanya prostitusi kelas atas.

Baik dalam kasus prostitusi kelas atas maupun bawah, yang selalu lolos dari jerat hukum justru adalah laki-laki pelanggan prostitusi. Padahal, pria pelanggan prostitusi dalam perspektif hukum ekonomi berperan sebagai permintaan (demand). Jika permintaan ditekan dengan aturan hukum, besar peluang penawaran (supply) dari muncikari dan PSK berkurang.

Tambah lagi, pria pelanggan prostitusi memang perlu dihukum agar sadar bahwa mereka sebenarnya merugikan diri sendiri, keluarga, dan wanita korban eksploitasi. Bukankah tingginya prevalensi HIV-AIDS dan penyakit menular seksual di Indonesia terkait erat dengan maraknya praktik prostitusi yang dipicu oleh permintaan (demand) lelaki hidung belang?

Indonesia sebenarnya bisa menerapkan Sex Buyer Law atau model Nordik dengan mulai menghukum (laki-laki) pelanggan prostitusi, bukan PSK. Kaum wanita yang menjadi kupu-kupu malam sebagian besar adalah korban eksploitasi, korban kemiskinan, dan rentan terkena penyakit menular seksual. Mereka ini wajib kita tolong untuk lepas dari jerat prostitusi.

Bahwa ada oknum (selebritas) yang terjun ke dunia hitam ini demi memenuhi gaya hidup mewah, ini kiranya tak mewakili mayoritas pekerja seks komersial. 

Meski demikian, PSK dengan dalih hidup mewah ini kiranya tidak perlu dikriminalisasi dengan hukuman penjara. Bisa diganti hukuman berupa pengabdian pada masyarakat, misalnya dengan membina dan melibatkan mereka sebagai influencer atau pemengaruh dalam kampanye melawan perdagangan manusia dan prostitusi.  

Kapan Indonesia Terapkan Sex Buyer Law?

Kisah sukses Sex Buyer Law sudah terbukti di Swedia, negara asal model Nordik dan sejumlah negara yang telah menerapkannya. Sex Buyer Law kiranya akan membuat pria pelanggan prostitusi berpikir dua-tiga kali sebelum mencari layanan seksual berbayar karena adanya ancaman hukuman.

Penerapan Sex Buyer Law memang memerlukan anggaran, infrastruktur, edukasi, dan eksekusi yang memadai. Sebelum itu, para pemangku kepentingan harus berdiskusi secara serius untuk menyepakati penerapannya di Indonesia.

Sex Buyer Law bisa jadi adalah hal baru yang manfaat positifnya masih diperdebatkan secara ilmiah. Akan tetapi, pengalaman negara-negara yang telah menerapkan hukuman bagi pelanggan prostitusi dan menolong (wanita) pekerja seks komersial membuktikan, mengkriminalisasi pria pelanggan prostitusi lebih bermartabat daripada menghukum wanita korban eksploitasi.

Penerapan Sex Buyer Law kiranya berdampak positif dengan keberhasilan menekan angka prostitusi dan kejahatan terhadap prostitusi. Kapan Indonesia menerapkan hukuman bagi (pria) pelanggan prostitusi?

Alih-alih sibuk menggerebek PSK di hotel, (para) anggota DPR RI seharusnya fokus menyusun undang-undang yang melindungi wanita korban eksploitasi dan menghukum laki-laki klien prostitusi. Semoga!

Pojok baca: 1, 2.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun