Menggunakan kata-kata bahasa daerah dan asing pun bisa jadi cara memperkaya puisi kita. Karena itu, penulis (puisi) yang baik adalah penulis yang juga mau mengeksplorasi kosakata bahasa daerah dan asing, selain kosakata bahasa Indonesia.
Tanpa perbendaharaan kata yang memadai dan tanpa kehendak untuk belajar, penulis (susatra) tak akan berkembang. Ini bukan kritik untuk orang lain. Kritik ini untuk diri saya sendiri yang bisanya juga cuma menganggit puisi biasa-biasa saja.Â
Maklum, saya bukan pujangga. Akan tetapi, justru karena itu, saya tak ragu berseru, "Wahai, penulis bukan pujangga, jangan takut menulis puisi sederhana".
Kita ingat, Goethe (1749-1832) pernah menulis, "The ideal of beauty is simplicity and tranquility".
----Â
Pengamatan saya (mungkin berguna bagi penulis pemula yang ingin nulis puisi di Kompasiana):Â
Menulislah tanpa terkungkung keinginan mendapat label "pilihan". Gunakan Kompasiana sebagai sarana belajar menulis dan mengapresiasi tulisan rekan Kompasianer.
Selera admin Kompasiana mengenai puisi bisa disimak dari pemberian label "pilihan" dan "artikel utama". Sepertinya puisi pendek sulit mendapat label "pilihan". Pula puisi bertema dan berdiksi terlalu banal. Tentu, bukan berarti puisi pendek dan bertema "biasa" adalah puisi yang buruk.Â
Sebuah puisi yang lahir dari hati dan orisinal pastinya juga memiliki makna bagi penulis dan pembaca yang cermat.
Admin Kompasiana tidak mungkin memberi semua puisi label "pilihan". Ada jatah persentase maksimal artikel "pilihan"tiap harinya. Jadi, puisi bagus pun bisa saja tidak dapat label pilihan. Santuy saja:)
Jika ingin label "pilihan", buat puisi yang agak panjang, bertema unik serta ditulis secara asyik. Selamat mencoba.