Mohon tunggu...
Bob S. Effendi
Bob S. Effendi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Konsultan Energi

Konsultan Energi, Pengurus KADIN dan Pokja ESDM KEIN

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Thorium : Sebuah Revolusi Energi

10 Juli 2015   22:20 Diperbarui: 4 April 2017   17:24 91301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Indonesia, tidak banyak ahli Nuklir yang menyadari tentang TMSR. Bahkan ESDM dan BATAN dalam Buku Putih PLTN 5000 MW, menargetkan Indonesia akan mengoperasikan PLTN pertama pada 2030 dengan pilihan Pressurised Water Reactor (PWR) -- yang harus di ingat adalah Buku Putih tersbut adalah perencanaan 15 tahun dari sekarang yang mana saat itu PWR sudah menjadi teknologi usang (apalagi isu proliferasi yang bertambah kuat - PWR menghasilkan Plutonium) yang tidak akan lagi dipakai setelah kemunculan MSR atau reaktor generasi ke IV lainnya. 

Seharus sebuah perencanaan jangka panjang di atas 5 tahun tidak saja melihat teknologi apa yang ada sekarang tetapi mempertimbangkan apa yang sedang dalam pengembangan. -- Ingat hanya di butuhkan waktu 10 tahun untuk teknologi seluler menggantikan dominasi fixed line telephone dan 5 tahun kemudian seluler dapat mengakses internet -- Bila saja pihak Telkom berpikir seperti ESDM dan BATAN dan tidak mendirikan PT Telkomsel pada tahun 1995 ketika seluler baru saja muncul, sangat mungkin saat ini PT Telkom sudah bangkrut. Karena faktanya Income terbesar PT Telkom adalah dari Telkomsel.

Dari sisi bahan bakar menurut data BATAN sendiri dalam Buku Putih PLTN, Indonesia hanya memiliki Cadangan Uranium 63.000 ton yang hanya cukup untuk 7 PLTN berdaya 1000 MW selama 40 tahun – sementara di buku yang sama BATAN menulis bahawa cadangan Thorium ada sekitar 121.500 (1 ton/tahun untuk 1000 MW) artinya cukup untuk 121 PLTN TMSR berdaya 1000 MW selama 1000 tahun. – Jelas thorium adalah pilihan yang rasional di banding Uranium.

Dari sisi keekonomisan BATAN dan ESDM masih menghitung biaya pembangunan PLTN pada kisaran USD 7 Juta/ MW padahal dalam dokumen IAEA tentang Small-Modular-Reactor (SMR), di perkirankan reaktor generasi IV SMR akan di desain dengan target biaya di kisaran USD 3 juta / MW. Professor B. Joseph Lassiter dari Harvard Business School membuat analisa bila Nuklir akan memberikan dampak kepada pengurangan emisi rumah kaca maka Nuklir harus lebih murah dari PLTU batubara dan PLTG yang saat ini biaya listriknya termurah di Amerika USD 2,5 sen/Kwh. Untuk itu ia membandingkan 3 kategori reaktor nuklir, Gen III+ keluarga LWR (AP1000, NuScale), Gen IV Non-MSR (Terrapower, Prism) dan Gen IV MSR (ThorCon, Transatomic, Terresterial Energy) -- Hasilnya adalah Gen IV turunan MSR pada 2025 akan lebih murah biayanya daripada PLTU batubara dan dengan pengembangan teknologi MSR akan menjadi lebih murah dari 2,5 sen/kwh pada tahun 2050. - Tentunya bila kita melakukan perencanaan jangka panjang teknologi dalam pengembangan seperti Gen IV   ini harus di masukan kedalam kosideran. 

Karena ketidaktahuan tentang adanya teknologi Nukir yang jauh lebih aman dibanding LWR maka Dewan Energi Nasional (DEN) dalam dokumen Kebijakan Energi Nasional menempatkan Nuklir sebagai opsi terakhir. – Hal ini karena kekuatiran terhadap : Kecelakan (meltdown) dan radiasi yang sesungguhnya lebih banyak isu daripada faktanya, seperti pernah saya tulis dalam tulisan saya sebelumnya PLTN antara isu dan fakta. Tapi sayang dari pihak BATAN maupun ESDM tidak ada yang memberikan keterangan pembelaan terhadap PLTN sehingga kalimat "opsi terakhir" masuk dalam dokumen Kebijakan Energi Nasional.

Pada tahun 2030 China dan India sudah mulai akan mengoperasikan TMSR 1000 MW dan pada saat itu sangat mungkin China akan sudah akan menjual TSMR ke Indonesia dengan harga murah -- Bila Indonesia ingin memiliki kemandirian energi melalui penguasaan teknologi nuklir inilah saatnya sebagaimana di amanatkan oleh Presiden Soekarno ketika meresmikan reaktor nuklir pertama di Bandung pada tahun 1965, satu tahun sebelum Jepang memiliki reaktor Nuklir. Tetapi 57 tahun kemudian setelah memiliki 3 reaktor eksperimen, 2 lembaga Nuklir (BATAN dan BAPETEN) dan 2 fakultas nuklir (ITB, UGM) Indonesia masih bermimpi memiliki PLTN.

Masalah ini sebenarnya sangat sederhana saja. Perintahkan BUMN yang begerak dalam bidang Nuklir, PT INUKI (Industri Nuklir Indonesia) untuk bekerjasama dengan salah satu perusahaan yang sedang melakukan pengembangan MSR yang sebagian besar adalah startup dan membutuhkan suntikan dana -- sama seperti yang di lakukan oleh Nurtanio yang bekerjasama dengan CASA ketika membuat pesawat pertamanya CN-212 yang berhasil melambungkan Nurtanio dalam waktu singkat menjadi Industri Pesawat Terbang kelas Dunia. Maka bila hal ini dilakukan dalam masa pemerintahan ini, saya yakin sebelum 2025 Indonesia sudah akan memiliki PLTN MSR skala 50 - 100 MW yang patennya di miliki bersama oleh Indonesia.

Selanjutnya Kami mengusulkan TMSR atau PLTN Thorium disebut PLTT (Pembangkit Listrik Tenaga Thorium) untuk membedakan dengan PLTN (LWR) yang selalu identik dengan Uranium/Plutonium.

Sebagai penutup, bahwa tanpa di sadari Masyarakat dunia termasuk Indonesia sudah memanfaatkan Thorium Power sejak lebih dari 100 tahun tepatnya sejak tahun 1910 yaitu : Petromax yang sesungguhnya adalah sebuah reaktor bertenaga Thorium. Artikelnya dapat di baca di PETROMAX : Reaktor bertenaga Thorium.

Semoga tulisan ini dapat menjadi inspirasi dan masukan bagi para pengambil keputusan di Indonesia untuk dapat mengkaji ulang perencanaan energi masa depan Indonesia, khususnya Nuklir.

Jakarta 10 Juli 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun