Mohon tunggu...
Budhi Masthuri
Budhi Masthuri Mohon Tunggu... Seniman - Cucunya Mbah Dollah

Masih Belajar Menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Facebook dan Bayang-Bayang Radikalisme

20 Agustus 2021   12:31 Diperbarui: 20 Agustus 2021   12:45 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber www.radartanggamus.co.id

Facebook awalnya dibuat Mark Zuckerberg (2004) untuk menemukan mahasiswa di kampus, mencari tahu siapa saja teman mereka di kelas, hingga melihat visualisasi jaringan sosial pengguna (www.tekno.kompas.com). Dalam waktu enam bulan penggunanya berkembang menjadi satu juta, kemudian tidak lagi sebagai direktori informasi mahasiswa melainkan lebih terbuka dengan isue yang beragam.

Pada awal-awal kemunculannya, Penulis tidak begitu berminat membuka akun facebook. Ketika itu facebook lebih banyak dipenuhi status-status narsis yang menjemukan. Sampai pada suatu ketika, ada kebutuhan membangun media komunikasi jejaring untuk melakukan advokasi isue-isue korupsi di daerah asal kelahiran, dan facebook menjadi alternatif yang paling realistis. Menggunakan nama akun samaran (pseudo name), penulis mulai mempubliksikan artikel-artikel pendek 300-600 kata, mengambil tema-tema kritis terkait pemerintahan setempat. Ternyata mendapatkan respons cukup antusias dari facebooker daerah. Kolom komentar dalam artikel tersebut selalu dipenuhi berbagai tanggapan, argumentasi bahkan silang pendapat. Ternyata, selain untuk menuliskan status-status naris, facebook bisa dimanfaatkan menjadi instrumen sharing, edukasi, advokasi dan membangun budaya literasi guna membuka kesadaran kritis masyarakat.

Belakangan mulai banyak yang memiliki kesadaran tentang "kegunaan lain" dari facbook ini. Pebisnis, akademisi, politisi, agamawan, sampai kelompok penganut paham radikalisme juga mulai melakukan hal yang sama. Facbook-pun marak digunakan sebagai alat propaganda untuk tujuan masing-masing. Berbagai konten dirancang, dari mulai flyer, poster, kutipan tokoh sampai video pendek dengan kemasan yang menarik, memukau, menghipnotis, dan bahkan provokatif.  Tujuannya juga beragam, ada yang sebagai instrumen edukasi, kampanye, namun semuanya itu menjadi bagian dari strategi propaganda untuk menanam dan menyebarkan doktrin radikalisme, terutama untuk kalangan anak dan remaja. Efeknya, dapat dilihat dari berbagai hasil survey yang dilakukan, saat ini intoleransi anak remaja sudah pada tingkatan seperti api dalam sekam. Setidaknya ini bisa diketahui dari survey PPIM UIN Jakarta (Muthahhari, 2017), dan Penelitian Balitbang Agama Makassar (Hyadin, 2017).

Pilihan media, kemasan isi dan tujuan, menjadi kunci keberhasilan strategi propaganda kelompok penganut doktrin radikalisme di facebook. Persebarannya melalui sharing dan reposting menyebabkan propagandanya mudah sekali meluas (viral), sampai ke tangan anak remaja melalui smartphone mereka. Sebagaimana sifat doktrin, konten yang diproduksi idak cukup memberi ruang untuk berfikir (bernuansa pembodohan), terkadang misleading informasi, atau bahkan HOAX, dll. Sementara itu pada saat yang sama media yang berisi konten-konten counter discourse tidak cukup tersedia di laman yang sama. Sebagai facebooker, intelektualitas penulis terpanggil, tidak jarang akhirnya terlibat dalam proses literasi, masuk ke diskusi-diskusi di kolom komentar, berdebat, mengkritisi, dan memberikan data serta pandangan alternatif, agar audiens menjadi lebih terbuka perspektifnya serta tidak terjebak ke dalam doktrin yang membodohi.

Pekerjaan membangun budaya literasi melalui persebaran counter discourse tersebut sangat berat jika dilakukan orang-perorang. Perlu sebuah sistemasi dan terlembaga sebagai bagian dari strategi deradikalisasi nasional. Meskipun demikian, komunitas intelijen di Indonesia terasa belum cukup memberikan porsi perhatian yang serius untuk hal ini. Konten-konten yang menawarkan counter discourse di media sosial, terutama facebook masih sangat minim. Itupun sepertinya hanya dibuat oleh perorangan, dan isinya tidak cukup menarik karena kurang milenial untuk bisa memikat anak dan remaja membaca, memposting, dan membagikannya kepada facebooker lain.

Hasil pengamatan dan interaksi penulis di facebook menemukan bahwa media propaganda yang berisi doktrin radikalisme ini sangat mudah masuk, diminati anak dan remaja, karena secara psikologis mereka sedang memasuki fase pencarian jati diri. Selain itu, kemasan yang menggunakan pesan-pesan agama, pemurnian aqidah dan kesalehan, termasuk iming-iming kemuliaan dan syurga, dengan ilustrasi visual serta narasi yang milenial, menjadikan media ini sangat bisa diterima mereka, menyebar luas, masuk ke relung-relung fikiran, keyakinan bahkan imajinasinya, ditengah minimnya media lain yang menawarkan counter discourse. 

Radikalisme adalah paham yang menginginkan perubahan sosial politik dengan cara sangat mendasar dan drastis (KBBI). Sekilas paham ini tampak tidak berbahaya, namun seringkali ketika dimanifestasi menjadi sebuah garakan, ia melibatkan pemikiran yang ekstirm dan cara-cara kekerasan, bahkan tidak jarang berkembang menjadi bentuk-bentuk aksi terorisme. Oleh karena itu, negara perlu mambangun strategi counter discourse yang menyeluruh, menyentuh dari mulai aspek kebijakan, SDM dan sarana-prasarana, sampai budaya literasi masyarakat, khususnya kelompok milenial anak dan remaja di facebook dan media sosial lainnya, agar mereka tercegah serta terhindar dari jerat terorisme anak dan remaja .*** 

 

DAFTAR PUSTAKA

Riyanto, Galuh Putri (20021), Sejarah Perjalanan Facebook, dari Kamar Asrama Menghubungkan Dunia, https://tekno.kompas.com/read/2021/03/31/20080017/ sejarah-perjalanan-facebook-dari-kamar-asrama-menghubungkan-dunia?page=all, diakses 21/06/2021 pukul 23.31 WIB

Hayadin (2017), Layanan Pendidikan Agama Sesuai Agama Siswa di Sekolah, Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, 15 (1), 2017, 13-31

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun