Mohon tunggu...
Riduannor
Riduannor Mohon Tunggu... Penulis

Menjadi penulis adalah menjadi saksi: terhadap diri sendiri, terhadap orang lain, dan terhadap sejarah yang terus bergerak.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Perpustakaan Keliling, Cara Pustakawan Menghidupkan Literasi

13 September 2025   06:30 Diperbarui: 16 September 2025   23:29 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kalau boleh tahu, apa momen paling berkesan selama jadi pustakawan keliling?" tanyaku lagi.

Pak Mulyadi, matanya terlihat berkaca-kaca:

"Suatu hari, seorang anak SD memberi saya surat kecil. Isinya: Terima kasih sudah datang. Saya jadi ingin jadi penulis.' Saya simpan surat itu sampai sekarang. Itu pengingat bahwa pekerjaan ini bukan sekadar membawa buku, tapi menyatakan mimpi."

"Luar biasa. Buku memang bisa mengubah hidup," ucapku sambil tersenyum. 

"Betul, Pak. Buku bisa menggugah cita-cita seorang anak, ingin menjadi penulis. Dan tugas saya bukan sekadar membawa buku, tapi menjaga nyala semangat itu tetap hidup," tutup Pak Mulyadi dengan suara lembut.

**

Siswa meminjam buku bacaan yang dibawa perpustakaan keliling di sekolah | Dokumen pribadi
Siswa meminjam buku bacaan yang dibawa perpustakaan keliling di sekolah | Dokumen pribadi

Merawat budaya literasi secara konsisten bukan sekadar tugas, melainkan komitmen jangka panjang bagi para pegiat literasi untuk menjaga nyala pengetahuan, membentuk ruang-ruang dialog yang inklusif di tengah masyarakat.

Bagi para pegiat literasi, seperti pustakawan yang berkeliling menggunakan mobil ke sekolah-sekolah di daerah pinggiran, terutama yang berada di kampung-kampung jauh dari pusat perkotaan, menjaga semangat membaca adalah bentuk pengabdian yang tak ternilai. 

Konsistensi adalah napas dari gerakan literasi itu sendiri—ia menjaga agar semangat membaca, menulis, dan berdialog tidak hanya menjadi tren sesaat, tetapi tumbuh sebagai kebiasaan yang mengakar dalam kehidupan masyarakat. Di tengah arus informasi yang cepat dan kadang membingungkan, budaya literasi menjadi jangkar yang menuntun kita untuk berpikir jernih, memilah makna, dan membangun empati. 

Maka, setiap langkah kecil—membaca bersama anak-anak, membuka ruang diskusi, menghadirkan buku ke pelosok—adalah bagian dari upaya besar untuk menyalakan cahaya literasi yang inklusif dan berkelanjutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun