"Kalau boleh tahu, apa momen paling berkesan selama jadi pustakawan keliling?" tanyaku lagi.
Pak Mulyadi, matanya terlihat berkaca-kaca:
"Suatu hari, seorang anak SD memberi saya surat kecil. Isinya: Terima kasih sudah datang. Saya jadi ingin jadi penulis.' Saya simpan surat itu sampai sekarang. Itu pengingat bahwa pekerjaan ini bukan sekadar membawa buku, tapi menyatakan mimpi."
"Luar biasa. Buku memang bisa mengubah hidup," ucapku sambil tersenyum.Â
"Betul, Pak. Buku bisa menggugah cita-cita seorang anak, ingin menjadi penulis. Dan tugas saya bukan sekadar membawa buku, tapi menjaga nyala semangat itu tetap hidup," tutup Pak Mulyadi dengan suara lembut.
**
Merawat budaya literasi secara konsisten bukan sekadar tugas, melainkan komitmen jangka panjang bagi para pegiat literasi untuk menjaga nyala pengetahuan, membentuk ruang-ruang dialog yang inklusif di tengah masyarakat.
Bagi para pegiat literasi, seperti pustakawan yang berkeliling menggunakan mobil ke sekolah-sekolah di daerah pinggiran, terutama yang berada di kampung-kampung jauh dari pusat perkotaan, menjaga semangat membaca adalah bentuk pengabdian yang tak ternilai.Â
Konsistensi adalah napas dari gerakan literasi itu sendiri—ia menjaga agar semangat membaca, menulis, dan berdialog tidak hanya menjadi tren sesaat, tetapi tumbuh sebagai kebiasaan yang mengakar dalam kehidupan masyarakat. Di tengah arus informasi yang cepat dan kadang membingungkan, budaya literasi menjadi jangkar yang menuntun kita untuk berpikir jernih, memilah makna, dan membangun empati.Â
Maka, setiap langkah kecil—membaca bersama anak-anak, membuka ruang diskusi, menghadirkan buku ke pelosok—adalah bagian dari upaya besar untuk menyalakan cahaya literasi yang inklusif dan berkelanjutan.