Tertawalah, sebelum tertawa itu dilarang! Slogan ini pertama kali diciptakan oleh group pelawak legendaris, Warkop DKI. Saat itu di tahun 1970-an, situasi politik membuat orang sulit tertawa. Kok bisa?.
Politik tertawa atau mentertawakan politik merupakan hal yang berbahaya di era Orde baru. Tidak sembarangan pelawak bisa mengeluarkan humor-humor yang mengandung kritik.
Sehingga slogan ini kemudian menjadi populer dan melegenda sebagai simbol kebebasan pelawak berekspresi melalui banyolan-banyolan di sebuah komedi.
***
Sebutlah Alfiansyah Bustami alias Komeng, seorang Komedian yang maju melalui jalur Caleg dari DPD RI Jawa barat. Ia meraup suara dengan jumlah yang luar biasa pada Pemilu 2024. Pencalonannya menjadi anggota DPD RI bahkan tidak dikenal, karena tidak pernah berkoar-koar dan beraliansi dengan Partai manapun.
Berdasarkan data KPU RI, komedian Komeng memperoleh suara mencapai 2.030.258 suara atau 12,04 persen dari total suara yang ada di Jawa Barat. Berapa suara sebenarnya untuk menduduki satu kursi perwakilan DPD RI pada Pemilu 2024?.
Berdasarkan Keputusan KPU Nomor 478 tahun 2022, syarat minimal memperoleh suara adalah 1.000 di setiap provinsi. Dan syarat itu bisa berubah dan berbeda-beda bergantung dengan jumlah penduduk dan alokasi kursi di masing-masing provinsi.
***
Politik Tertawa
Ketika seseorang melontarkan guyonan berupa humor-humor yang mengandung kritik kemudian diintimidasi, ditekan, dilarang bahkan ditangkap menjadikan tertawa sebagai bagian Politik?
Misalkan pelawak legendaris, Jojon salah satu anggota Srimulat yang terkenal di era tahun 70-an dan 80-an, di sebuah tayangan televisi pemerintah zaman tersebut mengkritik kebijakan ekonomi Soeharto.Â