Setiap orang punya kenangan masa kecil saat  bulan Ramadan. Masa kecil yang indah, penuh kelucuan dan serunya bermain. Saya yang terlahir di generasi paling bahagia (1970-1990an) mempunyai banyak  nostalgia yang sekarang sudah sulit ditemukan.
Di tahun 80an, kampung halamanku masih sunyi. Masih dalam tahap pembangunan. Disekitar kampung masih dikelilingi hutan. Gang-gang pemukiman masyarakat yang sekarang dinamai buah-buahan. Dulunya memang ditumbuhi pohon buah tertentu.Â
Ada gang manggis, rambutan, durian, mengkudu, dan lainnya. Karena tumbuhan tersebut yang ada di gang yang padat penduduk itu dulunya. Dan bila teringat nama-nama gang tersebut, ingatanku kembali kemasa anak-anak saat berusia 10 tahunan.
Saat Ramadan tiba-tiba, aku bersama teman sepermainan menyambutnya dengan penuh gembira. Bisa tarawihan memenuhi langgar dan masjid di kampung.
Langgar di kampungku waktu itu baru ada dua, dikampung sosial dan hulu. Dan satu buah masjid di kampung tengah. Bila Ramadan tiba, tempat ibadah tersebut penuh berjubel diisi oleh orang dewasa, dan anak-anak.
***
Berbuka di Langgar (Surau)
Bila menjelang berbuka puasa, sekitar 1-2 jam, marbot sekaligus imam tetap langgar dikampungku sudah mulai meminta sumbangan kue dan makanan dan minuman lainnya pada warga sekitar.
Saya dan teman sepermainan memenuhi bangku panjang yang ada di depan langgar Al-hidayah. Sambil ada yang bermain kelereng di halaman langgar yang cukup luas.
Haji Ilung terus bersuara melalui Toa yang terpasang di menara langgar. Suaranya terdengar sampai separuh kampung. Beliau meminta sumbangan warga untuk bersedekah makanan buat berbuka puasa.
Setiap sumbangan yang diterima, disebutkan namanya dari siapa, dan pahalanya ditujukan buat siapa. Tradisi ini di langgar yang ada di kampungku terus dilakukan sampai beliau meninggal dunia.Â
Dan kami yang dulunya anak-anak, saat beliau meninggal sudah beranjak remaja. Dan tradisi meminta sumbangan makanan berbuka puasa tersebut kami yang melanjutkan. Saat itu saya menjadi guru Taman Pendidikan Alquran (TPA) yang didirikan oleh remaja masjid dan Pemuda Anshor, organisasi kepemudaan dibawah Nahdatul  Ulama (NU).
***
Berburu Lailatul Qadr
Ada mitos yang beredar di kampungku di bulan Ramadan itu ada lailatul qadr turun. Cerita itu dipercaya oleh anak-anak kebenarannya. Karena diceritakan oleh kakek dan nenek.
Dan banyak juga orang tua yang mempercayainya. Mitos Lailatul qadr tersebut adalah bila seseorang bertemu atau dituruni lailatul qadr, apapun yang dimintanya menjadi kenyataan.Â
Bila ingin uang, maka uang akan turun dari langit dengan seketika. Apapun yang disebutnya saat bertemu lailatul qadr tersebut menjadi kenyataan.Â
Hingga saya dan beberapa teman lainnya, suka begadang diteras rumah sambil menenteng radio nasional berharap dituruni lailatul qadr tersebut. Bahkan ada beberapa orang tua duduk-duduk diteras rumah sambil mengopi, menunggu lailatul qadr.
Lucu memang, lailatul qadr ditunggu layaknya menunggu durian runtuh dari langit. Setelah dewasa dan memahami apa yang dimaksud Lailatul qadr tersebut saya tersenyum sendiri dihati. Tapi kok banyak juga orang dewasa itu percaya dengan mitos-mitos tentang lailatul qadr. Karena tidak mau belajar, akibatnya percaya saja dengan cerita orang tua yang tidak tahu dari mana sumbernya.
Bermain Laduman
Laduman merupakan sebutan bahasa banjar untuk permainan dari bambu yang diisi dengan minyak tanah. Kemudian disulut dengan bilah bambu, dan ditutup dengan serbet tangan. Sehingga mengeluarkan suara yang nyaring layangnya meriam yang ditembakkan.
Kami memainkannya secara bergantian. Saya termasuk mahir menembakkan meriam bambu tersebut. Biasa saya dan teman-teman bermain ditengah hutan rumbia yang berada didekat kampung.Â
Suara menggelegar ditengah hutan rumbia tersebut setiap meriam bambu tersebut tersulut minyak tanah yang menyembur dari lubangnya. Biar tambah nyaring, biasa ditambah campuran garam.
Pernah seorang teman ketika menyulut meriam bambu tersebut, tiba-tiba bambu panjang tersebut meledak. Dan menyemburkan api, sehingga membakar tubuhnya.Â
Namun kejadian tersebut tidak pernah membuat jera anak-anak di jaman dulu memainkannya. Tetap saja bila Ramadan tiba permaianan berbahaya tersebut dilakukan.
***
Berburu tanda tangan Imam SholatÂ
Ada kebiasaan saat bulan Ramadan dari guru Agama Islam mewajibkan anak-anak membuat buku catatan sholat di langgar dan masjid yang harus di tanda tangani oleh imam setelah sholat selesai.
Dulu buku tanda tangan imam tersebut selama bulan Ramadan dibuat sendiri. Berbeda dengan sekarang kebiasaan ini masih berjalan, hanya saja sudah dalam bentuk buku cetak. Dan buku tersebut memuat semua kegiatan yang bisa dilakukan selama bulan Ramadan.Â
Nanti diakhir Ramadan buku tersebut harus dikumpulkan. Dan diperiksa oleh guru Agama Islam yaitu Pak Maksum. Kini beliau sudah meninggal dunia. Semoga amal ibadah beliau diterima disisi-NYA.
Buku tanda tangan tersebut disodorkan setiap selesai mengikuti sholat berjamaah selama bulan Ramadan. Imam langgar atau masjid bakal diserbu setelah sholat berjamaah selesai. Kami berdesakan, mengelilingi imam.
Haji Mursyid, imam langgar di kampungku orangnya sangat ramah dan senang dengan anak-anak. Beliau tidak marah dan hanya tersenyum melihat kami berebutan minta tanda tangan. Beliau juga sudah tiada, sejak saya beranjak remaja.Â
***
Kenangan dan nostalgia masa kecil di bulan Ramadan sangat banyak sekali sebenarnya untuk diceritakan. Dan bila teringat membuat kita tersenyum sendiri. Terkadang sedih juga, banyak orang tua, kakek dan nenek yang dulu masih ada, kini sudah tiada.Â
Waktu terus berjalan. Banyak juga teman sepermainan saya yang  meninggal dunia atau pergi merantau kekampung lain mencari penghidupan dinegeri rantau.
Hanya beberapa saja teman sepermainan masa kecil yang ada dan tinggal dikampung halaman. Semoga teman sepermainan yang sudah pergi mendahului menghadap Tuhan yang Maha Esa, diberikan tempat yang layak disisi-NYA.
Nostalgia masa kecil di bulan Ramadan tetap menjadi sebuah perjalanan hidup yang tidak bisa dilupakan. (*)