Mohon tunggu...
Riduannor
Riduannor Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Citizen Journalism

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Artikel Utama

Tiga Ramadan Tidak Bertemu Ibu

31 Maret 2023   02:35 Diperbarui: 6 April 2023   16:30 3010
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makam Ibunda (Dokumen pribadi : Riduannor/Istimewa)

Dulu, dari tahun 1997-2017 setiap tahun minimal sekali saya pulang kekampung halaman. Bisa juga sesekali di enam bulan saat liburan semester saya pulang. Hanya ingin bertemu dengan ibu.

Tiap Ramadan, saya harus bela-belain pulang ke Samarinda. Bawa beras baru yang saya beli di tempat tugas sebagai guru transmigrasi. Pak Roby, ataupun mas Tono biasa datang kerumah menawarkan beras baru ketika mereka panen.

Beras gunung jenis mayas, sangat terkenal di daerah transmigrasi ditempatku bertugas. Itu sebabnya Ibu selalu berpesan meminta bawakan beras tersebut bila aku liburan pulang kampung.

Oleh-oleh khas berau lainnya, seperti Milo dan makanan ringan bolu  malaysia yang didapatkan dari Tawau daerah perbatasan Indonesia. Ada juga terasi yang dibuat dari udang oleh petani tambak ikan yang ada di pesisir tabalar muara.

Dari kecil sampai saya lulus kuliah di sekolah pendidikan guru setara diploma di tahun 1994 saya tidak pernah berpisah dengan Ibu. Sampai akhirnya merantau menjadi Guru daerah transmigrasi yang sunyi, ditengah hutan rimba di tahun 1997.


***

Ibu memang wanita hebat di dalam kehidupanku. Pontang-panting beliau mengusahakan biaya sekolah dari SMA sampai kuliah Pendidikan Guru. Tiap menjelang subuh sudah berangkat ke pasar subuh, membeli sayuran dan dijual kembali di rumah.

Uangnya dikumpulkan rupiah demi rupiah dari keuntungan, untuk membayar SPP dan juga uang jajan serta transportasi naik taksi ke sekolah atau universitas. 

Tiap Ramadan saya selalu bisa bertemu dengan ibu saat di rantau. Menjelang akhir Ramadan seminggu sebelumnya, saya izin dengan Kepala Sekolah pulang kampung supaya bisa berpuasa dan berlebaran di Samarinda.

Dan bisa berpuasa penuh sebulan di tahun 1999, ketika libur sekolah selama bulan Ramadan di tetapkan pemerintah di era presiden Gus Dur. Sudah jadi tradisi guru-guru di rantau, bila bulan Ramadan pulang kampung, menyempatkan puasa bersama keluarga tercinta dan berlebaran bersama.

Di Ramadan 1441 Hijriah merupakan bulan Ramadan terakhir buat Ibu. Di akhir bulan syawal ibu berpulang selama-lamanya. Tanda-tanda beliau akan pergi selamanya sudah terlihat bulan Ramadan.

***

Setiap hari beliau menelpon, untuk dibelikan jajanan untuk berbuka puasa. Mengajak ngobrol berlama-lama saat saya berada di rumah beliau. Saya tidak tinggal serumah lagi sejak berkeluarga. 

Umur kita memang tidak ada yang tahu. Saat bertemu, di Ramadan terakhir beliau suka bercerita tentang masa-masa kecil saya. Susahnya melahirkan saya, sampai sehari menjelang malam tidak bisa lahir juga. 

Lahir dalam keadaan terlilit tali pusat penyebabnya sehingga susah lahir normal. Kampung saya masih sunyi waktu itu. Tidak ada puskesmas seperti sekarang. Untuk pergi ke rumah sakit harus ditempuh dengan naik kapal sungai yang menyeberangi sungai mahakam.

Kata Ibu, bayi yang lahir dengan tali pusat yang melilit seluruh badannya adalah anak yang pintar dan cerdas nanti ketika dewasa. Benar atau tidaknya, atau kebetulan apa yang ibu katakan ada kebenarannya. 

***

Sepuluh hari menjelang kepergian beliau, Ibu terserang stroke pita suara hingga tidak bisa berbicara. Makin hari beliau tambah drop. Hingga dilarikan ke rumah sakit. 

Pada tanggal 25 bulan Syawal pergi untuk selamanya, dengan bibir tersenyum dan kening yang berkeringat. Satu-satunya saya yang menyaksikan kepergian beliau diantara sanak keluarga. 

Dokter yang menangani beliau juga bingung. Seluruh anggota badan beliau masih hangat tidak seperti orang yang sudah meninggal. Orang yang meninggal biasa badannya dingin seperti es. Tapi beliau tidak. 

Dokterpun mengatakan selama 15 tahun menjadi dokter umum di rumah sakit baru ini menyaksikan orang yang sudah meninggal badannya tetap hangat seperti orang tidur. Kata beliau jantungnya sudah berhenti bekerja, dan beliau menyatakan ibu sudah meninggal dunia.

***

Saat dibawa ke langgar (Surau) untuk di sholatkan, saya ikut memikul keranda jenazah ibu. Dan menurunkan beliau ke liang lahatnya sebagai tempat peristirahatan terakhir. 

Saya juga terkaget-kaget, ketika wajah ibu dibuka kain kafannya, untuk dihadapkan kekiblat, mencium tanah wajah beliau tetap tersenyum dan ada butir keringat didahinya. 

Badannya pun tidak kaku layaknya orang yang sudah meninggal. kakinya tetap lentur, dibalik kain kafannya juga terasa hangat tubuh beliau layaknya orang yang tidak meninggal. 

Saya sampai bingung sendiri, apakah Ibu sudah meninggal?. Bahkan pemandi jenazahpun bercerita, baru kali ini memandikan jezazah orang yang meninggal  badannya tetap hangat, layaknya orang masih hidup. Dan tidak ada kotoran sedikitpun yang keluar dari tubuhnya.

Saya hanya mengambil hikmah, apakah ini cara Allah memperlihatkan kemuliaan ibu disisi-Nya. Diakhir hayatnya pun, saya bisa menuntun ibu mengucapkan kalimat tauhid. Sedangkan setengah jam beliau sebelum meninggal beliau sudah tidak sadar. 

Layaknya anak bayi yang baru lahir, tersenyum sendiri. Sedangkan mata beliau tertutup. Badan beliaupun tidak bisa digerakkan lagi. saya tau beliau sudah berada di sakaratul maut. Detik-detik menjelang kematian.

***

Saat beliau pergi selamanya setelah sakaratul maut, tak ada setetes air matapun keluar dari mataku. Justru rasa bahagia luar biasa dihati. Rasa gembira melihat dan menyaksikan kematian beliau. 

Bibir yang tersenyum dengan mata terpejam rapat. Keringat yang keluar dikeningnya. Tanda-tanda beliau berpulang dengan diliputi kebaikan. Saat saya bimbing mengucapkan kalimat tauhid, diucapkan ketiga beliau bisa mengikutinya, dengan terbata-bata dengan kalimat terdengar jelas.

Padahal beliau divonis stroke pita suara oleh dokter. Sebuah keajaiban yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, dan ilmu pengetahuan. Yang saya ingat adalah Sabda Nabi, barang siapa yang bisa mengucapkan kalimat tauhid diakhir hayatnya beliau sendiri yang menjamin orang tersebut akan masuk surga.

***

Itulah Ibu, yang selama ini saya hormati dan banggakan. Wanita kuat yang penuh rasa kasih sayangnya. Memperjuangkan pendidikan anaknya sampai menjadi seorang guru. Terlahir bukan dari keluarga berada.

Ayah seorang buruh di sebuah perusahaan dan kemudian menjadi sopir taksi dan bertani setelah berhenti bekerja. Sedangkan ibu berjualan di warung kecil sambil berjualan sayuran dari hasil kebun dan membeli sayuran dipasar induk. 

Kalau jauh dari kampung halaman bertugas sebagai guru transmigrasi di berau wilayah bagian utara Kalimantan timur. Setidaknya setahun sekali saya masih bisa pulang kampung, dan menjumpai beliau di saat bulan Ramadan.

Bisa ngobrol, dan menikmati masakan Ibu yang tidak bisa mengalahkan masakannya. Seenak apappun masakan lain, masakan ibu tetap luar biasa. 

***

Sekarang sudah tiga Ramadan saya tidak bisa bertemu lagi dengan Ibu. Bila kangen bertemu ibu, hanya pusaranya tempat yang bisa saya datangi.

Berkirim untaian doa, semoga beliau mendapatkan tempat yang termulia di sisi-Nya. Mengirimkan sedekah, wakaf pembangunan masjid atau langgar berupa bahan bangunan seperti semen yang diniatkan kebeliau.

Apapun perbuatan baik yang dilakukan selalu diniatkan beliau mendapatkan pahala dari amalan yang dikerjakan anaknya. Diawal Ramadan saya berkunjung ke Makam beliau. Saya tidak bisa bercakap-cakap lagi dengan Ibu. Mendengarkan ceritanya.

Suatu malam, saya pernah bermimpi bertemu dengan Ibu. Beliau terlihat muda seumuran masih remaja. Dengan wajah yang terlihat cantik dan bercahaya. Beliau tersenyum. Walaupun tak ada kata-kata terucap dari mulutnya.

Saya seakan berada di sebuah tempat yang sangat luas tak bertepi. Sangat nyaman dan sejuk. Serasa indah dan membuat betah berada di sana. Sangat damai, sebuah tempat yang tidak pernah kudatangi selama ini.  (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun