Mohon tunggu...
Blasius P. Purwa Atmaja
Blasius P. Purwa Atmaja Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan dan Pembelajar

Staf Pengajar di Yayasan TNH Kota Mojokerto. Kepala Sekolah SMP Taruna Nusa Harapan Kota Mojokerto. Kontributor Penulis Buku: Belajar Tanpa Jeda. Sedang membentuk Ritual Menulis. Email: blasius.tnh@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jalan Licin Menuju Cita-cita (2)

18 Mei 2015   08:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:52 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah saya menjadi guru, barulah saya tahu bahwa tugas untuk membimbing dan mengarahkan para siswa untuk mengenali cita-cita mereka sebenarnya merupakan salah satu tugas guru Bimbingan dan Konseling. Di salah satu program layanan bimbingan ada yang namanya bimbingan karier. Di situlah peran guru dan guru BK khususnya untuk memberikan gambaran berbagai profesi dan peluang yang didapat dari profesi itu.Selain itu, perlu juga disampaikan persyaratan yang harus dimiliki jika ingin masuk ke profesi tertentu.

Bagi sekolah SMA yang melaksanakan kurikulum 2013, pemilihan jurusan dilakukan ketika seorang siswa masuk SMA. Dalam kasus seperti itu, berarti guru BK di SMP harus membantu memberikan rekomendasi kepada siswa yang bersangkutan untuk memilih jurusan. Tentu saja hal itu harus memperhatikan bakat, minat, prestasi, dan tes IQ yang dicapai siswa selama di SMP. Oleh karena itu, guru BK seharusnya dekat dengan siswa, bisa menjadi tempat curhat, bukan sebaliknya menjadi guru yang ditakuti.

Di saat saya sekolah di SMP dulu, guru BK ini masih disebut BP (Bimbingan dan Penyuluhan). Saat itu saya menganggap ruang BP atau guru yang ada di dalamnya adalah ruang dan guru yang menakutkan. Siswa yang dipanggil ke ruang BP pastilah siswa yang bermasalah. Baik itu terlibat perkelahian, pacaran, sering membolos, atau permasalahan lain. Selama tiga tahun saya sekolah di SMP, saya masuk ke ruang BP sebanyak satu kali. Saat itu saya sudah duduk di kelas 3 (baca: kelas 9 sekarang), menjelang EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) atau Ujian Nasional kalau sekarang. Sebagian isi pembicaraan yang saya ingat saat itu adalah sebagai berikut.

Guru BP bertanya, “Kamu akan meneruskan ke mana?”

Saya menjawab, “Sekolah di SPG van Lith Muntilan, Pak.”

Guru BP menasihati, “Kamu nggak cocok sekolah di SPG, tinggi badanmu tidak mencukupi.” Memang saat itu tinggi badan saya hanya 143cm. Padahal persyaratan untuk diterima di SPG (Sekolah Pendidikan Guru) yang saya favoritkan itu, tinggi badan minimal seharusnya 150cm. Perolehan NEM (Nilai EBTANAS Murni) minimal harus 39,00 dari 6 mata pelajaran yang di-EBTANAS-kan. Persyaratan itu tentu membuat saya gelisah. Tinggi badan saya tidak memenuhi syarat. Persyaratan nilai juga termasuk tinggi untuk saat itu. Pada masa itu, pemerintah tidak memberikan kisi-kisi yang sangat operasional dan detail seperti sekarang. Modal persiapan menghadapi EBTANAS hanya berdasarkan materi pelajaran yang diberikan oleh guru. Oleh karena itu, nilai minimal 39,00 sudah termasuk lumayan tinggi.

Meskipun sulit memenuhi persyaratan itu, saya tidak mempunyai pilihan lain. SPG adalah jalur terpendek bagi saya agar bisa segera bekerja setelah lulus sesuai keinginan orang tua saya. Kalau saya harus sekolah di SMA tentu ini tidak sesuai dengan keinginan orang tua karena SMA tidak menyiapkan para siswanya untuk bekerja, tetapi untuk melanjutkan kuliah. Demikian pemahaman yang selalu disampaikan orang tua saya. Orang tua saya mengatakan kalau hanya membiayai 3 tahun sekolah di SPG masih mampu, tetapi kalau harus membiayai kuliah tidak bisa.

Para siswa zaman sekarang tentu lebih beruntung daripada zaman dulu. Informasi tentang beragam profesi bisa didapat dari mana saja. Media massa sudah berkembang sangat pesat. Para guru, terlebih lagi guru BK sudah memiliki teknik, strategi, atau metode yang beragam untuk membimbing para siswanyadalam memilih sekolah lanjutan. Selain itu, para guru juga bisamembantu mengarahkan para siswa untuk mengenali berbagai pilihan profesi. Jadi kebingungan siswa dalam memilih sekolah lanjutan dan profesi sudah bisa dikurangi.

Kembali ke permasalahan yang saya hadapi. Di tengah kebimbangan menentukan sekolah lanjutan itu, saya menempuh EBTANAS. Saat itu, saya selalu berharap agar nilai komulatif saya minimal mencapai 39.00.Di tengah menunggu pengumuman hasil EBTANAS itu sebenarnya saya tertekan. Selain tertekan karena harus memperoleh nilai di atas 39.00, saya juga tertekan secara sosial. Menurut perasaan saya, banyak orang kelihatannya meragukan kemampuan saya untuk masuk ke SPG van Lith. Sebuah sekolah swasta favorit di wilayah Jogja dan Jawa Tengah. Betapa malunya jika saya tidak diterima, padahal sudah terlanjur banyak orang mengetahui bahwa saya ingin sekolah di situ.

Waktu pengumuman hasil EBTANAS pun tiba. Hasil NEM yang saya peroleh melebihi harapan minimal saya. Saya mencapai NEM 41,06 dari 6 mata pelajaran yang diujikan secara nasional. Untuk ukuran sekolah kampung, perolehan NEM sebesar itu sudah cukup lumayan. Saya menduduki peringkat ke-3 di sekolah. Peringkat pertama diraih oleh Agus Dwiantoro, dengan nilai 48 (komanya saya lupa), peringkat kedua dicapai oleh Ferius dengan nilai 41,80. Memang ada gap yang jauh antara peringkat pertama dan kedua. Teman saya yang memperoleh peringkat pertama itu dari SD memang terkenal sebagai anak yang genius.

Perolehan NEM itu memang termasuk monumental sebagai sesuatu yang layak diingat. Ayah selalu bercerita dengan bangga dan merasa tersanjung ketika diundang ke sekolah dan disuruh tampil di depan forum saat pengumuman kelulusan. Sesampainya di rumah, ayah memberi kabar ke saya, “Yus, kowe entuk ranking telu.” (“Yus [nama panggilan saya di rumah], kamu dapat rangking tiga.”) Ayah saya juga memberitahukan nilainya. Berita itu tentumembahagiakan kami sekeluarga. Ayah bilang, “Meskipun kamu ini anaknya orang miskin, kalau mau berusaha, ternyata bisa berhasil juga.”

Satu syarat untuk bisa masuk SPG yang saya idamkan sudah terpenuhi. Syarat yang lain tentang tinggi badan tidak bisa dicapai dalam waktu singkat. Meskipun tinggi badan tidak memenuhi syarat, dengan perolehan NEM di atas minimal itu, saya menjadi optimis. Dalam pikiran saya, “Saya pasti diterima. Masalah tinggi badan kan masih bisa tumbuh.”

Dengan berbekal NEM yang sudah memenuhi syarat itu, saya mendaftarkan diri. Suatu hari, pagi-pagi buta saya berangkat dengan diantarkan oleh ayah saya. Sekolah yang akan saya masuki itu kira-kira berjarak 17 km dari rumah saya. Untuk mencapai sekolah itu saya harus berjalan kaki sejauh kurang lebih 7 km menuju ke jalan raya dan dilanjutkan naik angkutan sejauh 10 km.

Sesampainya di sekolah yang saya tuju, pendaftar sudah sangat banyak. Karena dibatasi NEM minimal, para pendaftar rata-rata memiliki NEM yang tinggi. Dari hasil membanding-bandingkan perolehan NEM dengan sesama pendaftar, ternyata nilai 41,06 yang saya peroleh tergolong nilai yang rendah. Sampai di sini saya kembali tidak percaya diri. Ternyata saingannya sangat berat. Terlebih lagi di tahun 1988 itu adalah tahun terakhir diselenggarakannya jenjang sekolah menengah yang bernama SPG itu. SPG tempat saya mendaftar itu hanya akan menerima dua kelas dengan kuota per kelas 20 siswa. Ini tentu mempersempit kemungkinan saya diterima di sekolah itu. (bersambung).

Tulisan Sebelumnya:

Jalan Licin Menuju Cita-Cita (1)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun