Mohon tunggu...
Blasius P. Purwa Atmaja
Blasius P. Purwa Atmaja Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan dan Pembelajar

Staf Pengajar di Yayasan TNH Kota Mojokerto. Kepala Sekolah SMP Taruna Nusa Harapan Kota Mojokerto. Kontributor Penulis Buku: Belajar Tanpa Jeda. Sedang membentuk Ritual Menulis. Email: blasius.tnh@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ajari Kami Berdoa

6 Mei 2015   07:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:20 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, doa artinya permohonan (harapan, permintaan, pujian) kepada Tuhan. Berdoa berarti mengucapkan doa atau memanjatkan doa. Dengan kata lain, ketika kita berdoa berarti kita sedang berkomunikasi dengan Tuhan. Kita berkomunikasi untuk menyampaikan permohonan demi kebaikan kita, demi kesuksesan kita, demi kesehatan kita, dan lain-lain. Selain itu, kita juga bisa memuji kebesaran nama-Nya atau bersyukur atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya.

Kalau ketika berkomunikasi dengan sesama manusia saja kita harus memperhatikan etika dan sopan santun, tentu hal yang lebih dari sekadar sopan santun harus kita laksanakan ketika kita berkomunikasi dengan Tuhan. Tidak hanya para guru agama yang telah mengajari kita berdoa, tetapi juga para pemimpin agama, para nabi, bahkan Tuhan sendiri sudah memberikan tuntunan bagaimana seharusnya kita berdoa.

Sudah sejak Taman Kanak-Kanak (TK), kita diajari berdoa. Namun apakah hingga sekarang dalam kondisi kita beranjak remaja, menjadi dewasa, atau bahkan saat menjadi tua, kita sudah bisa berdoa dengan sikap yang baik atau justru sebaliknya. Berdoa sebagai sebuah kebutuhan rohani yang berimplikasi terhadap segala segi kehidupan, memang memerlukan konsentrasi, pemusatan hati dan pikiran, dan kepasrahan hati. Berdoa tidak layak dilakukan dengan cara yang serampangan dan dengan sikap yang tidak santun.

Tulisan ini sebenarnya muncul setelah saya mengikuti upacara peringatan Hari Pendidikan tanggal 2 Mei 2015. Saat itu saya mengikuti upacara di halaman Kantor Walikota. Pesertanya adalah bapak-bapak dan ibu-ibu dari berbagai SKPD, TNI, Kepolisian, Satpol PP, para guru, pegawai negeridari berbagai dinas, dan tak ketinggalan para pelajar dari beberapa satuan dan jenjang pendidikan.

Selain mendengarkan sambutan Menteri Pendidikan, Anies Baswedan, yang dibacakan oleh Walikota Mojokerto, Mas’ud Yunus, dalam kesempatan itu Walikota juga menyampaikan pengumuman bahwa Kota Mojokerto menerima penghargaan Satya Lancana Karya Bakti Praja Nugraha dari Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Tjahyo Kumolo, dan merupakan peringkat 5 nasional. Selain itu, Pemerintah Kota Mojokerto juga meraih penghargaan Parasamya Purnakarya Nugraha. Penghargaan tertinggi di bidang penyelenggaraan pemerintahan tersebut diserahkan secara langsung di Istana Negara oleh Bapak Presiden RI Joko Widodo.

Kalau mau mendengarkan dengan saksama, beberapa hal penting yang bisa diambil dari sambutan menteri tersebut adalah bahwa pendidikan jangan dianggap sebagai proyek, tetapi sebuah gerakan. Kalau proyek, beban tugasnya hanya pada pemilik proyek dan kalau proyeknya berhenti berarti kegiatannya tidak berlanjut. Dengan menganggap pendidikan sebagai gerakan pencerdasan maka banyak pihak akan terlibat dan tidak hanya berlangsung pada kurun waktu tertentu tetapi terus-menerus. Yang kedua, tugas mencerdaskan itu bukan hanya menjadi tanggung jawab para guru, melainkan secara moral menjadi tanggung jawab setiap kaum tertidik.

Mendengarkan pidato yang panjang lebar itu tentu menjadi hal yang menjemukan bagi sebagian besar peserta upacara. Terlihat banyak peserta upacara yang justru berbisik-bisik kepada teman di kiri atau kanannya. Terlebih lagi di barisan pelajar, suaranya sebenarnya sangat mengganggu peserta upacara yang lain. Saya yakin sebenarnya anak-anak ini tentu sudah diajari tentang tata upacara bendera dan bagaimana seharusnya bersikap di saat mengikuti upacara. Namun toh sikapnya menunjukkan seolah-olah mereka tidak pernah diajari.

Lebih parah lagi ketika sampai pada urutan acara pembacaan doa. Saat pembaca doa mulai membacakan doa bahkan sampai akhir pembacaan doa, di barisan pelajar terdengar suara berisik karena mereka yang berdiri di barisan belakang tetap mengobrol. Peristiwa ini sungguh mengganggu. Ada beberapa orang yang mencoba mengingatkan, tetapi rombongan pelajar itu tidak mendengar. Mereka tetap saja mengobrol.

Saya sendiri merasa prihatin dengan kondisi ini. Ketika beberapa kali nama Tuhan diserukan dengan pengeras suara dalam rangkaian kalimat doa, hal itu tetap tidak bisa menyentuh hati dan perasaan kelompok pelajar yang sedang mengobrol ini untuk kemudian ikut terlarut dalam doa. Kalau toh tidak mau ikut berdoa, paling tidak saya berharap mereka hening. Tetapi sampai akhir mereka tetap tidak diam.

Namun akhirnya saya menyadari. Mereka masih pelajar. Mereka masih membutuhkan bimbingan dan pengarahan. Mungkin saja dalam hatinya bersuara, “Ajari kami berdoa.” Kita yang sudah lebih dewasa dan terdidik mempunyai kewajiban moral untuk membimbing anak-anak ini agar mereka lebih santun. Tidak hanya dalam berdoa tetapi juga dalam setiap aspek kehidupan yang mereka jalani. Karena kesantunan bersikap merupakan salah satu prasyarat agar orang diterima dengan layak dalam pergaulan sosial di masyarakat maupun di dunia kerja nantinya.

Kita harus mengajari mereka untuk mengasah hati dan menghaluskan perasaan agar lebih peka dan sensitif terhadap segala peristiwa. Kita harus mengajari mereka agar empan papanatau tahu tempat dan waktu jika ingin berbicara dan bertindak. Kalau saat ini perilaku mereka masih seperti itu, mungkin karena mereka masih dalam tahap perkembangan. Mereka belum dewasa.

Di pihak lain, kadang kita juga prihatin menyaksikan beberapa oknum tokoh yang terlihat santun dan saleh serta agamis, secara mengejutkan terlibat dalam tindakan yang kurang terpuji. Korupsi misalnya. Bagaimana mungkin di tengah sikap-sikap yang kelihatannya baik itu terselip tak tik culas, sikap dengki, dan strategi jahat?Kita tentu tidak mengharapkan kesantunan dan kesalehan itu hanya tampak luar dan tidak tulus sampai ke dalam hati. Jangan sampai simbol-simbol kesalehan dan topeng-topeng kesantunan agama dipakai sebagai kedok untuk melakukan tindakan tercela. Hal yang seperti itu tentu lebih memprihatinkan dan merupakan teladan yang buruk bagi generasi setelah kita. Jadi sikap anak-anak yang belum santun dan dewasa harus kita benahi, demikian juga para pejabat publik dan tokoh-tokoh terkenal juga harus memberi teladan yang baik.

Kita yang hidup dalam generasi sekarang merupakan bagian dari pemilik negeri ini. Marilah kita wariskan kepada generasi mendatang perilaku yang jujur, santun, peka, beretika, tenggang rasa, toleran, setia kawandan sikap-sikap baik yang lain. Namun tentu sikap yang tulus lahir dan batin. Termasuk juga sikap saleh dalam berdoa yang selaras dengan perilaku keseharian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun