Mohon tunggu...
Rizky Ramadhan
Rizky Ramadhan Mohon Tunggu... Kang Tulis -

Saya Rizky Ramadhan. Cuma nulis dan baca di sini, Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi Bukan Malaikat, Prabowo Bukan Iblis

19 Juni 2014   02:52 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:11 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dugaan bocornya anggara negara yang dikemukakan oleh Prabowo Subianto bukanlah hal yang konyol. Setidaknya itu menurut saya. Menurut saya, hal tersebut patut untuk diperhatikan oleh seluruh elemen bangsa ini. Meski dalam debat Capres Prabowo mengungkapkan hal tersebut dengan 'Anggaran negara yang bocor' bisa dijadikan polemik. Prabowo hanya lupa menambahkan kata 'dugaan' sebelum menyebut 'anggaran bocor'.

Tapi kalau soal valid atau tidak validnya data, saya rasa seorang Prabowo tidak akan berani berbicara sesuatu yang tidak berisi. Karena ini menyangkut bangsa dan negara, Rp. 1.000 Triliun tidak timbul begitu saja saat debat capres, melainkan sudah menjadi perhatian Prabowo sebelum dirinya ditetapkan secara sah oleh KPU sebagai Calon Presiden untuk lebih lengkapnya tulisan kompasianer Kaka Czeto sedikit bisa menjelaskan tentang wacana bocor Rp. 1.000 Triliun tersebut. Saya rasa, PDI-P juga tidak kaget dengan wacana yang dipaparkan oleh Prabowo Subianto saat debat capres.

Barangkali Prabowo diserang habis-habisan karena keteledorannya mengungkapkan dugaannya tersebut. Kesalahpahaman dalam pemaparan menjadi performa terburuk Prabowo sebagai seorang orator yang handal, mestinya ia dapat membedakan mana yang harus diolah menjadi data fakta, mana yang harus disebut dengan dugaan yang harus diperjuangkan bersama. Maka, setiap kalimat yang keluar dari mulut Prabowo seolah menjadi tumpas tanpa sisa, tapi saya rasa Jokowi tidak begitu. Yang begitu hanya orang-orang fanatik yang terlanjur mencap Prabowo sebagai bekas jenderal yang gila kekuasaan.

Meski sudah bisa dipastikan pilihan saya tidak jatuh kepadanya pada pemilihan presiden nanti, tapi saya lebih memercayai perkataan Prabowo tersebut. Dan tentang Rp. 7.200 Triliun itu, masyarakat yang mengatakan Prabowo Asal Bunyi pun harusnya memiliki tanggung jawab moral terhadap bangsa. Karena hal tersebut memang dikatakan oleh ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, tapi berbeda dengan pemahaman Prabowo, Samad mengatakan angka tersebut merupakan angka yang dapat diperoleh Indonesia jika pemerintah memberi perhatian pada sektor Migas.

Mengenai hal tersebut, Jokowi --beserta kader PDI-P-- jelas tidak kaget. Karena tidak lain dan tidak bukan Abraham Samad pernah mengatakan hal tersebut di dalam forum Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III PDI-P di hotel Eco Park, Ancol, Jakarta Utara (7/9/2013). Saat itu Samad masih gencar-gencarnya disebut sebagai calon wakil presiden mendampingin Jokowi. Maka, saya agak miris ketika melihat pendukung Jokowi yang lantas mengolok-olok Prabowo sebagai seorang yang asal bunyi. Memang betul ia keliru, tapi ada baiknya kita melihat wacana yang dipaparkan oleh Prabowo adalah sebuah permasalahan yang harus dihadapi bersama, karena --menurut saya-- hal tersebut ada meski dalam bentuk dugaan dan tentu itu harus diperjuangkan.

Samad memaparkan angka tersebut sebagai potensi pemasukan negara yang hilang --entah ini masuk kategori bocor atau tidak-- karena kebijakan pemerintah sekarang yang tidak jelas. Pendapatan negara sebesar Rp. 7.200 Triliun itu berdasarkan potensi dari 45 blok eksplorasi migas, tapi hilang karena penyelewengan dalam pengelolaannya.Barangkali Prabowo memang keliru, tapi saya tak yakin bila Samad ikutan keliru. Dalam Rakernas tersebut, Samad pun tak kalah konyol --kalau memang Prabowo konyol-- ia menyerukan agar pemerintah menasionalisasi semua blok Migas dan potensi sumber daya alam yang kini dikuasai asing. Sangat menggebu-gebu dan terkesan sederhana, barangkali ini menjadi salah satu penyebab ia gagal menjadi wakil dari Jokowi.

Sementara itu, Prabowo memang terhitung sudah concern pada masalah Migas ini, dan Jokowi pastinya juga sudah mengetahui hal ini --karena ada ahli migas Kurtubi di pihaknya-- dan patutnya teman-teman pendukung Jokowi juga mengetahui hal ini agar tidak salah dalam memilah, mana hal yang bisa dicemooh dan mana hal yang jadi perhatian bersama. Salah satu buktinya adalah saat Prabowo berbicara pada Jakarta Foreign Correspondents Club di Jakarta, Rabu (25/9/2014), saat itu Prabowo mengingatkan pihak-pihak tertentu yang menginginkan nasionalisasi di Industri Migas. Menurutnya saat ini yang dibutuhkan adalah berbuat untuk kepentingan nasional Indonesia, dan hal tersebut sangat berbeda dengan nasionalisasi. Saat itu ia menyatakan, tidak ada yang salah dengan kehadiran perusahaan-perusahaan minyak dan gas asing di Indonesia yang terlibat aktif dalam berbagai proyek migas, asalkan saja berada di bawah kontrol pemerintah yang baik.

Ya, Prabowo jelas melek tentang hal Migas ini, dan saya rasa lawan politiknya juga sejalan dengan pemikirannya. Kalau sudah ada kontrak dengan asing, menurut Jokowi, memang harus dihormati. Karena apa yang ada dalam kontrak adalah berkekuatan hukum. Juga tentang nasionalisasi, hal tersebut kurang elok di tengah iklim investasi global, tapi bukan berarti pemerintah harus kehilangan kontrol. Bukankah setiap saham pertambangan sudah harus dikuasai oleh pemerintah sebesar 51% oleh negara, atau BUMD atau BUMN? Jokowi, dalam hal ini harus memperjuangkan hal tersebut, dan dalam debat Capres lalu, Prabowo sudah mengingatkannya, tentang kontrak, tentang renegosiasi, tentang seluruh sumberdaya alam yang dikuasai negara dan diberdayakan untuk kepentingan rakyat banyak.

Maka saya sangat sedih dengan keadaan Prabowo yang menjadi bahan olok-olok teman-teman pendukung Jokowi. Seolah apa yang dikatakan oleh Prabowo adalah salah, seolah apa yang dilakukan oleh Prabowo itu konyol, fitnah dan tidak benar adanya. Saya rasa Jokowi sekalipun, ia sebagai orang yang kita dukung, tidak berpikir demikian. Maka sesungguhnya apa yang dipaparkan oleh Prabowo bukanlah sebuah kekonyolan, juga bukan hanya imajinasi dari seorang bekas jenderal yang bertujuan meraih simpati.

Terlepas dari itu semua, rasa-rasanya Prabowo sudah sepantasnya tenang untuk hal ini, pasalnya dalam lembar Visi-Misinya, Jokowi berkomitmen dalam re-negosiasi pengelolaan sumber tambang berbasiskan keuntungan yang setara (i.e equal profit sharing) antara pemerintah dan korporasi baik domestik maupun asing. Untuk urusan perminyakan, yang ada potensi pendapatan negara yang hilang itu, Jokowi akan menyusun tata kelola migas yang efektif dan efisien untuk membangun industri migas nasional yang kuat yang berorientasi pada kedaulatan energi.

Dalam visi-misi Jokowi jelas tertulis, pembubaran BP Migas menjadi SKK Migas mengundang ketidakpastian yang berujung pada berkurangnya investasi dan kegiatan eksplorasi maupun pengembangan. Untuk itu, dalam visi-misi Jokowi, perlu perbaikan tata kelola migas dengan cara: (1) dalam jangka pendek dikeluarkannya Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang), (2) dalam jangka menengah merevisi UU Migas Merah Putih yang berkarakter membangun kapasitas nasional dan akan memberikan kepastian hukum secara permanen.

Maka, tidak pelak bagi saya --seorang Jokowi Lovers-- tidak menganggap pernyataan Prabowo tentang kebocoran anggaran sebagai sesuatu yang konyol, hal tersebut hanyalah sesuatu yang keliru dalam pemaparannya. Bagi saya hal tersebutbisa mengingatkan saya untuk tetap mencermati calon presiden yang sudah mantap akan saya pilih, agar nantinya bisa tetap kritis kepada yang bersangkutan bila terpilih menjadi presiden nanti.

Sejauh ini, menurut penilaian saya, apa yang dimiliki oleh keduanya sama-sama baik untuk Indonesia. Poin penting selanjutnya adalah bagaimana pengalaman seseorang dalam melaksanakan kebijakan, oleh siapa para Capres diusung dan rekam jejak sang Capres adalah poin lain yang juga penting --bagi saya-- saya untuk memilih. Dari kacamata saya --yang tidak bersemboyan 'asal bukan Prabowo-- Jokowi masih lebih unggul dalam ketiga poin yang saya sebutkan, namun bukan berarti Prabowo tidak baik.

Saya sadar, tahun ini saya sedang dihadapkan oleh dua pilihan, Jokowi yang bukan malaikat dan Prabowo yang bukan Iblis. Karena apa yang dikatakan dengan tepat tak selalu baik, demikian pula dengan apa yang dikatakan secara keliru. Secara tepat atau keliru sebuah wacana dikemukakan, saya lebih mementingkan esensi,mencari yang tepat dari si keliru untuk kebaikan, dan mengancam yang tepat untuk tetap berada pada jalan menuju kebaikan.

Semoga Jokowi bisa terpilih jadi presiden, dan teman-teman yang mengaku Jokowi Lovers dapat terus mengawalnya dalam bertugas semata-mata untuk Indonesia yang lebih baik, untuk Indonesia Hebat!

Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun