Mohon tunggu...
Bisyri Ichwan
Bisyri Ichwan Mohon Tunggu... Dosen - Simple Man with Big Dream and Action

Santri Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi dan Alumni Universitas Al-Azhar Mesir. Seorang yang kagum dengan Mesir karena banyak kisah dalam Al Qur'an yang terjadi di negeri ini. Seorang yang mencoba mengais ilmu pengetahuan di ramainya kehidupan. Seorang yang ingin aktif kuliah di Universitas terbuka Kompasiana. Awardee LPDP PK 144. Program Doktor UIN Malang. Ketua Umum MATAN Banyuwangi. Dosen IAIDA Banyuwangi. Dan PP. Minhajut Thullab, Muncar, Banyuwangi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar Membaca Fenomena

2 November 2019   08:15 Diperbarui: 2 November 2019   08:23 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Teman-teman S3 PBA UIN Malang di gedung rektorat UIN Malang (Foto : Ust. Ali Ma'shum)

Sudah dua minggu saya absen menulis di Kompasiana setelah sempat menulis beberapa catatan harian. Hari kamis kemarin, saat mata kuliyah Filsafat Bahasa di S3 PBA UIN Malang yang diampu oleh Prof. Dr. Mudjia Raharja, semangat untuk menulis muncul lagi. Beliau selalu menyemangati kami yang ada di kelas untuk belajar dan selalu menulis. Menulis apa saja. Beliau bukan hanya mengatakan dan memberikan nasehat untuk menulis, tetapi juga memberikan suri teladan.

Diantaranya ada tiga tulisan beliau yang dipaparkan di kelas dan begitu terkejutnya saya ketika di akhir artikel tertulis tanggalnya, 31 Oktober 2019, yang artinya tulisan itu masih fresh ditulis di hari sama yang sama saat beliau mengajar kami. Beliau mengatakan, 3 artikel itu diselesaikan ditulisnya di hari kamis hari itu juga dan masing-masing artikel, rata-rata 1000 karakter untuk artikel yang beliau paparkan di kelas. Produktif sekali.

Saya merasa tertampar dengan produktifitas yang beliau lakukan. Beliau tiada hari tanpa menuliskan sesuatu. Entah itu tulisan-tulisan ringan dengan menuliskan fenomena yang beliau temui setiap hari di masyarakat, setelah itu beliau nilai dengan teori-teori keilmuwan yang beliau miliki serta mencari pelajaran dari terjadinya fenomena itu, hingga menulis sesuatu yang dianggap berat, mulai jurnal sampai buku.

Salah satu pesan beliau adalah fenomena apapun di masyarakat, bagi seorang yang bukan terpelajar, tidak akan memiliki nilai apa-apa, tidak ada yang istimewa, ia lewat begitu saja. Tetapi bagi seorang yang terpelajar, fenomena sekecil apapun, akan menjadi istimewa, ia menjadi bahan untuk mengambil sebuah pelajaran di dalamnya, menuliskannya, menilainya dan menjadi kajian yang menarik.

Beliau menulis artikel berjudul "Budaya Ngerumpi dan Rendahnya Literasi". Judul ini beliau ambil setelah melihat fenomena yang terjadi di bandara Cengkareng, saat hendak melakukan penerbangan menggunakan pesawat Garuda Indonesia. Saat di ruang tunggu, beliau bercerita bahwa di sana ruangan hampir penuh dengan para penumpang yang juga sedang menunggu penerbangan.

Semuanya sedang asyik ngobrol dengan teman duduknya. Di pojok ruangan ada berbagai macam tumpukan koran dengan berbagai merek, mulai Kompas, Jawa Pos, Sindo, Media Indonesia, The Jakarta Post, dan lain-lain, anehnya yang beliau lihat di ruangan tunggu, tidak ada yang menyentuh koran-koran ini, padahal ini adalah koran baru hari ini dan menurut pandangan beliau, koran-koran ini sedang menyajikan berita yang sedang hangat di masyarakat.

Sementara di sebuah meja di dalam ruangan itu, ada satu pemandangan yang berbeda. Ada 3 orang bule yang duduk bersama juga. Tetapi mereka tidak ngerumpi sebagaimana para penumpang yang lain. 3 bule itu asyik dengan dunianya sendiri. Masing-masing sedang khusyuk membaca sebuah buku. Saat beliau mencoba mendekat, terlihat bahwa yang mereka baca adalah sebuah novel. Dari situ beliau mendapatkan pelajaran berharga dari fenomena ini. fakta di dalam ruang tunggu bandara ini, walaupun tidak bisa dibuat ukuran generalisir, paling tidak memberikan sebuah gambaran, bagaimana budaya literasi masyarakat kita, mereka lebih suka ngerumpi. Sebaliknya 3 orang bule itu sedikit mewakili budaya literasi masyarakat mereka, yang lebih suka membaca.

Beliau juga menunjukkan ke kami artikel yang berjudul "Disertasi Bukan Sembarang Karya" yang berisi tentang penilaian beliau saat menjadi penguji disertasi di UIN Malang. Masing-masing dari kami di kelas, diminta untuk membaca artikel yang beliau tulis ini. Membaca sedikit demi sedikit dan pelan sambil memahami dan mengambil pelajaran dari sana. Artikel ini beliau tulis sebagai bentuk introspeksi terhadap fenomena ujian disertasi yang ada selama ini. Karena ada beberapa kasus yang menurut beliau kurang tepat. Disertasi adalah karya penelitian terakhir dalam sebuah jenjang Pendidikan formal di Indonesia untuk bisa meraih gelar Doktor di S3. Artinya karya disertasi haruslah perfect; sempurna yang tidak ada cacat di dalamnya.

Saat menjadi penguji disertasi, awalnya beliau ingin bertanya tentang substansi dari isi disertasi yang dituliskan. Namun, keinginan ini ternyata terbantah ketika membuka satu persatu lembaran disertasi yang ada di dalamnya. Bagaimana beliau akan bertanya substansi, jika cara penulisan disertasi itu sudah banyak yang salah. Seperti halnya cara penulisan kata "di". tentu penulisan kata "di dalam" dengan kata "diantaranya" akan berbeda. Satu dipisah dan satunya disambung. Nah, kaedah sederhana ini saja sudah banyak yang salah penulisannya. Kalo ada satu dua kata yang salah, bisa dimaklumi, bisa jadi karena salah pengetikan. Tetapi kesalahan ini tetap berlanjut hingga hampir halaman-halaman terakhir.

Tentunya ini menjadi peniliain beliau, bahwa penulis tidak faham dalam tata cara penulisan yang tepat. Sehingga beliau berkesimpulan bahwa bagaimana akan berbicara isi, kalo penulisan dalam kata saja sudah banyak yang salah. Bahasa menggambarkan fikiran seseorang. Bahasa yang baik, akan melahirkan tata kata dan tata penulisan yang baik, begitu juga sebaliknya. Adanya kesalahan yang beruntun, menunjukkan bahasa penulis tidaklah baik dan menurut penilaian beliau yang saya fahami, juga menunjukkan tingkat kecerdasan seseorang yang menjadi penulis itu. Akhirnya beliau merasa kecewa, bagaimana mungkin sebuah karya tertinggi dalam bidang akademik kualitasnya seperti ini.

Sebuah karya haruslah sempurna, tidak boleh asal-asalan, apalagi karya itu adalah disertasi. Tidak boleh asal jadi. Tidak boleh asal ujian. Tidak bisa berprinsip pada "yang penting ujian dulu, yang lain dipikirkan nanti". Itu adalah cara berfikir yang tidak tepat. Seharusnya berfikirnya adalah "harus sempurna dulu, baru ujian". Tidak ada kesalahan dulu, baru diujikan. Karena tujuan dari sebuah penulisan, apapun itu bentuk tulisannya, termasuk penulisan disertasi adalah ingin memberikan kesan yang baik bagi seorang pembaca, dan memberikan kesan yang baik itu tidaklah mudah, begitu juga merubah kesan yang buruk menjadi baik, lebih tidak mudah lagi. Dari sinilah, kesempurnaan dalam sebuah karya seharusnya menjadi sebuah keharusan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun