[caption id="attachment_102858" align="alignnone" width="633" caption="Sudut kota Ramsis, Cairo, ruwetnya kendaraan umum di sini (Foto : Bisyri)"][/caption] Dalam tata bahasa arab. Kinanah berarti anak panah yang dilemparkan dari busurnya dan Mesir adalah satu-satunya negara arab yang mendapatkan julukan negeri kinanah, karena dari negara ini lahir banyak sekali ilmuwan muslim yang tersebar di seluruh dunia. Dua tahun berada di negeri kinanah ini, membuatku bisa membandingkan seperti apa keadaan sebelum masa revolusi dan setelah revolusi. Maklum saja, aku termasuk salah satu orang yang hobi jalan-jalan, melihat peluang dan keadaan. :) Berubah, ya itulah penilaian sederhanaku. Dua hari di Cairo, aku langsung menyempatkan diri untuk berkunjung ke KBRI, sekalian menguruskan administrasi seorang sahabat yang sedang mengambil program S2. Sengaja, aku memilih mahattah yang paling dekat dengan apartemen tempat tinggal, tahu sendirilah, entah selesai revolusi ataupun tidak, kalo nunggu di mahattah (terminal) di kawasan hayyul asyir tempat banyak mahasiswa asing tinggal, pasti kendaraan sudah bejubel dan Cairo sudah memasuki musim panas. Cairo Metro bawah tanah menjadi andalan transportasi yang aku pilih untuk melewati kawasan macet lalu lintas. Sebelum sampai Ramsis yang menjadi kota kedua di Cairo yang lumayan ruwet karena di sinilah semua kendaraan berkumpul untuk mencari penumpang dan banyak pedagang asongan lalu lalang untuk menawarkan dagangannya, aku sudah turun dari bus dan masuk ke dalam kereta metro bawah tanah di mahattah Damardash. Alhamdulillah, ramai juga. Emang pas, aku berangkat dari rumah sekitar jam 9 pagi, saat banyak orang Mesir melakukan aktivitas untuk berangkat kerja. Hampir tiap lima menit kereta bawah tanah di Mesir selalu on time datang. Aku pernah berfikir, entah seperti apa nasib kota-kota di Mesir jika tidak ada kendaraan alternatif sekaliber metro bawah tanah Cairo, apalagi lalu lintas di kota ini sangat dan sangat semrawut. Saking semrawutnya, mobil banyak tergores walaupun mobil kelas luxury. Dengan dua lantai di bawah tanah, kendaraan ini sangat membantu mengurangi stresnya macet kota ini. Aku langsung memilih untuk turun di mahattah Sayyeda Aisyah, nama ini dipakai karena dekat dengan kawasan mahattah adalah tempat dimakamkannya cucu kanjeng Nabi Muhammad dari sayyidina Husein. Keluar dari mahattah sangat banyak sekali pemudi yang lalu lalang, mereka kebanyakan adalah para mahasiswi yang habis pulang belajar dari kampus kedokteran Cairo University. Sedang tujuanku adalah pergi ke Alesco University yang tidak jauh dari tempat KBRI Cairo berdiri. Sengaja aku tidak sarapan dan memilih untuk mencoba menu makanan Cairo. Sudah lama rasanya tidak mencicipi makanan Cairo seusai pulang ke Indonesia kemarin. Dekat dengan kampus, ada kafe yang menarik perhatianku, ini cafe baru, setahuku, sebelum adanya revolusi kemarin, cafe ini belum ada. Aku mampir dan menu sea food menjadi pilihan. Ketika pesanan datang dan lidahku merasakannya, ternyata, aduh! emang benar-benar selera Mesir, gak ada gurihnya seperti masakan Indonesia. Gak ada enaknya. hehe, tapi rasa lapar menyadarkanku untuk terus saja melahapnya. Oia, saat naik metro tadi, ada satu hal yang menarik perhatianku. Di setiap pintu keluar di dalam kereta bawah tanah, pasti tertulis nama-nama mahattah yang akan disinggahi dan ternyata, untuk mahattah di Ramsis yang menjadi pusat kedua kota Cairo setelah Tahrir, yang mahattahnya bernama presiden yang sudah "makhlu'" (tercopot), nama Husni Mubarak tidak tampak dalam jejeran nama-nama mahattah kereta bawah tanah, padahal nama presiden-presiden sebelumnya seperti Nasser dan Anwar Sadat masih mentereng menjadi nama stasiun metro. Ini pasti ulah para pemuda Mesir yang mencoretnya dari daftar nama stasiun. Benar-benar berubah. Usai dari Alesco, aku langsung ke KBRI untuk menemui salah satu staf di Atase Perdagangan untuk menanyakan beberapa hal tentang perdagangan khususunya ekspor impor. Setelah ngobrol sana sini, aku memutuskan untuk langsung pulang saja. Berjalan melewati trotoar di sepanjang jalur Garden City, Tahrir. Benar ternyata. Negeri kinanah ini berubah. Dulunya orang demo dijaga ketat oleh aparat kepolisian, sekarang tidak tampak, buktinya sewaktu aku melewati gedung pusat budaya dekat dengan lapangan Tahrir yang waktu itu menjadi pusat revolusi, ada banyak orang sedang demo juga. Uniknya, demo di sini orangnya lebih ngotot dari pada demo di Indonesia, mereka menginap di tempat demo hingga tuntutan mereka dipenuhi. Entah berapa bulan nginepnya dan pertanyaanku adalah siapa yang membiayai mereka untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Aku tidak tau pasti apa tuntutan mereka, tapi yang jelas, hampir 99 % orang yang aku lihat di depan gedung itu adalah para pemuda yang masih produktif yang seharusnya bisa berkarya untuk bangsanya. Di samping mereka ada tikar dan tas-tas besar yang berisi perlengkapan baju dan sebagainya. Memandang sekilas membuatku mengelus dada. Sampai seperti inikah kondisi Mesir saat ini. Pengangguran sudah meraja lela. Kali ini aku naik metro dari mahattah Saad Zaghloul. Ada sesuatu yang menarik juga di sini. Ternyata masih ada tank yang berjaga dengan beberapa anggota militer bersenjata lengkap. Aku mencoba melihat dari jarak dekat kenapa tempat ini diblokir, hmm ternyata ini adalah salah satu pusat gedung untuk markaz militer. Jalan masuk metro yang biasanya menjadi langgananku juga diblokir, terpaksa aku memilih jalan lainnya. Tujuanku berikutnya adalah pasar Attaba. Aku ingin survei langsung untuk mencari barang sekaligus COAnya, kebetulan ada satu perusahaan yang memintaku untuk mencarikan ini. Kalau anda pemain ekspor impor, pasti tau dengan ini. Pasar Attaba adalah salah satu pasar induk di Mesir, banyak yang sudah bermain secara ekspor impor di sini, cuma segmen yang mereka bidik adalah menengah ke bawah. Tapi ruwetnya minta ampun di sini, entah seperti apa keruwetan itu, aku sampai tidak bisa menjelaskannya. :) Aku mendatangi salah satu toko agen paling besar di jalan menuju Bab Syar'ea, aku lupa namanya, padahal termasuk langgananku setiap kali hendak mengirim cargo kontainer ke Indonesia, aku sering belanja bahan baku Habba sauda dan Olive oil di sini dan harganya juga jauh dari toko-toko lain yang ada di Mesir, mereka mengambil langsung dari perusahaan manufakturnya. Sampai aku mengantongi langsung nomor pemilik tokonya. Namun sayang, COA yang orang arab menyebutnya dengan Syahadat Tahlil Lil Muntij tidak aku dapatkan, mereka bilang hanya perusahaan yang memegang dan punya sertifikat ini. Keluar dari toko, beberapa hal yang menarik perhatianku, hampir semua barang dagangan yang dipasarkan di pinggir jalan adalah product of China. Benar-benar luar biasa negara tirai bambu itu. Bahkan asal tahu saja, di Tahrir, orang China sudah berani dengan terang terangan menggelar dagangan untuk menjual produknya. Tidak ada orang asing lain yang seberani mereka. Inilah sekilas potret kota di negeri kinanah saat ini usai revolusi yang Amr Mousa, Sekjen Liga Arab menyebutnya sebagai "tsaurah abyad", Revolusi Putih. Kotanya tambah ruwet, demo masih terus berlangsung dengan tuntutan yang berbeda tentunya yang diantaranya adalah terus menuntut agar Husni mubarak segera diadili. Setelah tubuhku terasa 'klenger' mengitari kota di suhu Cairo yang mulai panas, aku memutuskan pulang dan istirahat. ----------------- Catatan sederhana saja. Salam Kompasiana Bisyri Ichwan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI