Disusun oleh: Zhillan Tamamil Bayan
Institusi: Akademi Digital Bandung
Ideologi adalah adalah seperangkat gagasan, keyakinan, atau nilai yang menjadi dasar dan arah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diperjuangkan.Ideologi membentuk cara pandang suatu kelompok atau bangsa terhadap dunia dan menentukan tujuan serta cara mencapainya. Dalam konteks kenegaraan, ideologi berfungsi sebagai landasan dalam menyusun sistem politik, hukum, sosial, dan ekonomi. Oleh karena itu, pemilihan dan perumusan ideologi suatu negara sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial, budaya, dan sejarah masyarakatnya. Indonesia sendiri membentuk Pancasila sebagai ideologi negara melalui proses kompromi berbagai pandangan ideologis yang berkembang pada masa awal kemerdekaan.
Perumusan Pancasila pada pertengahan 1945 berlangsung dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI yang dihadiri tokoh nasional berlatar agama dan politik berbeda. Pada sidang BPUPKI (29 Mei--1 Juni 1945) ketua Radjiman Wedyodiningrat meminta masukan dari anggota seperti Moh. Yamin, Soepomo, dan Soekarno yang mengajukan konsep dasar negara (Pancasila). Untuk menengahi perbedaan antara golongan agama dan kebangsaan dibentuk Panitia Sembilan (22 Juni 1945). Panitia ini menghasilkan naskah Piagam Jakarta sebagai rancangan awal Pancasila. Setelah kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menyempurnakan Piagam Jakarta (misalnya menghapus frasa syariat Islam) sehingga Pancasila lima sila yang final ditetapkan 18 Agustus 1945.
Komunisme
Komunisme (Marxisme-Leninisme) menekankan kepemilikan bersama dan perjuangan kelas, serta bersifat atheis. Ideologi ini menolak agama sebagai "candu masyarakat" dan menganggap negara dan kepentingan kolektif di atas individu. Pendekatan Pancasila berbeda tajam: sila pertama menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara, sedangkan sila keempat menjunjung permusyawaratan perwakilan (demokrasi) dan menghormati kebebasan individu. Oleh karena itu, ajaran komunisme bertentangan dengan sila pertama dan keempat Pancasila. Meskipun demikian, Pancasila memasukkan aspek pemerataan dan keadilan sosial yang selaras dengan cita-cita sosialisme kiri. Misalnya, Sukarno mengusulkan "Kesejahteraan Sosial" sebagai salah satu asas dalam pidato 1 Juni 1945. Dalam Pancasila sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat dijadikan tujuan, mencerminkan pengaruh positif semangat sosialis (walau bukan komunisme radikal). Namun pengaruh komunisme ekstrem tetap dieliminasi dalam perumusan Pancasila, sehingga negara Indonesia memilih jalan tengah ketimbang menjadi negara satu partai atheis.
Fasisme
Fasisme adalah ideologi kanan ekstrem yang menekankan pemimpin otoriter, nasionalisme sempit, dan militerisme. Prinsip-prinsip fasisme (penyatuan rakyat secara paksa, penolakan demokrasi, penindasan individu) bertolak belakang dengan nilai-nilai Pancasila. Misalnya, sila keempat Pancasila menegaskan demokrasi permusyawaratan rakyat, sedangkan fasisme bersifat anti-demokratis dan anti-parlemen. Demikian pula sila kedua Pancasila, "Kemanusiaan yang adil dan beradab", tidak sejalan dengan penindasan individu dan ujaran kebencian yang lazim pada rezim fasis. Dalam konteks perumusan Pancasila 1945, tidak ada tokoh Indonesia yang menganut fasisme; namun gagasan negara integralistik (persatuan total) yang dikemukakan Soepomo dapat dibandingkan dengan konsep korporatis fasis Eropa. Secara umum pengaruh fasisme cenderung negatif terhadap Pancasila: persatuan (sila ketiga) tidak dimaksudkan menjadi supremasi satu kelompok, melainkan keharmonisan multikultural. Sementara pengaruh positif dari fasisme pada Pancasila sulit ditemukan, karena Pancasila menolak ide nasionalisme eksklusif dan militerisme fasis dengan menekankan kemanusiaan, musyawarah, dan keadilan sosial.
Islam
Islam sebagai ideologi agama menempatkan keimanan dan syariat di pusat kehidupan. Dalam BPUPKI, golongan Islam (termasuk tokoh seperti KH. Wachid Hasyim) mengusulkan dalam Piagam Jakarta agar sila pertama mengandung kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Rumusan ini kemudian ditolak perwakilan daerah Timur yang ingin negara sekuler. Muhammada Hatta menyarankan kompromi dengan mengubahnya menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa" tanpa klausul syariah khusus. Hasilnya, sila pertama Pancasila tetap mengakui Tuhan sebagai sumber kehidupan berbangsa. Nilai positif Islam memperkuat Pancasila, misalnya pengakuan Tuhan (sila I) dan ajaran keadilan serta kasih sayang (sila II dan V) yang sesuai dengan ajaran Islam tentang kemanusiaan dan kesejahteraan umat. Sebaliknya, tuntutan Islam yang terlalu kaku (syariat negara) ditarik ke belakang untuk menjaga persatuan bangsa. Dengan kompromi politik ini, Indonesia mengadopsi Pancasila yang mengakomodasi nilai Islam tanpa menjadi negara Islam, sehingga meminimalkan dampak negatif terhadap sila persatuan dan demokrasi