Mohon tunggu...
Birgita Olimphia Nelsye
Birgita Olimphia Nelsye Mohon Tunggu... Desainer - Sambangi isi pikiranku.

Hakikat hidup adalah belajar.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kelangkaan Harimau Sumatera

6 April 2017   18:28 Diperbarui: 10 April 2017   20:00 3865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Hardin memaparkan bahwa kepemilikan bersama menimbulkan tragedi. Sebab, setiap manusia rasional terkunci ke dalam sistem yang memaksa seseorang untuk meningkatkan keuntungannya masing-masing (Hardin, 1968: 1244). Hal ini nampak pada aktivitas perburuan dan penjualan Harimau Sumatera secara ilegal di pasar. Tentu akan sangat menguntungkan karena bagian-bagian tubuh harimau ini dihargai sangat tinggi di pasar perdagangan. Akibatnya, perburuan liar (illegal hunting) terhadap harimau marak terjadi. Jika hal ini terus dibiarkan, maka nasib Harimau Sumatera akan sama dengan Harimau Jawa dan Harimau Bali yang telah mengalami kepunahan.

            Keterbatasan sumber daya, mengharuskan adanya redefinisi terhadap hak milik atas hutan. Privatisasi terhadap sumber daya alam adalah cara tepat mengurangi kebebasan manusia dalam mengeksploitasi alam. Privatisasi ini nampak dalam upaya konservasi (pengawetan) yang dilakukan oleh pemerintah, dengan melestarikan hewan tersebut di dalam (in situ) dan di luar (eksitu) wilayah konservasi.

            Upaya pelestarian di dalam habitatnya (in situ) dilakukan melalui pembuatan kawasan Hutan lindung atau Taman Nasional. Taman Nasional tersebut antara lain Taman Nasional Way Kambas, Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Kerinci Seblat, dan di Kawasan Hutan Senepis. Sedangkan pelestarian di luar habitatnya (eksitu) dilakukan dengan menempatkan mereka di Taman Safari atau Kebun Binatang Ragunan. Selain itu, pendekatan konservasi lain terhadap harimau Sumatera adalah pelestarian di luar habitatnya (eksitu), seperti di Kebun Binatang. Pendekatan eksitu baik karena bertujuan untuk menyelamatkan harimau Sumatera. Tetapi, pendekatan ini seharusnya bukan menjadi pilihan bagi penyelamatan hewan langka. Hal ini karena berkaitan dengan etika dalam kesejahteraan hewan (animal welfare) yang seharusnya hidup di habitat aslinya.

            Selain itu cara lainnya adalah dengan membuat regulasi untuk melindungi alam di bawah payung hukum.Misalnya melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Namun, payung hukum ini tetap dilanggar karena bertabrakan dengan kepentingan ekonomi masyarakat setempat. Akibatnya, taman nasionalmasih dapat disusupi oleh pemburu nakal. Ternyata, perlindungan hukum masih saja kurang. Maka, pengawasan yang lebih ketat perlu dilakukan. WWF sebagai lembaga yang konsisten dengan upaya konservasinya membantu dengan mengumpulkan dana untuk pembelian alat-alat pantau dan alat penunjang petugas pantau.

            Menurut Hardin, regulasi yang menghasilkan tanggung jawab adalah yang bersifat memaksa (koersif). Sehingga, hukuman berat bagi pemburu satwa langka adalah solusi yang tepat untuk memberikan efek jera bagi mereka sendiri maupun orang lain. Selain itu, hukuman berat juga dapat menyentuh kesadaran masyarakat bahwa Harimau Sumatera telah berada di ambang kepunahan dan seharusnya dilindungi. Hukuman berat juga menjadi tuntutan dari WWF untuk menindak tegas pelaku perburuan dan perdagangan ilegal.

Filosofi Lingkungan yang Antroposentris


            Berkurangnya habitat asli Harimau Sumatera juga disebabkan oleh adanya kesalahan dalam filosofi lingkungan yang dianut. Filosofi lingkungan yang dianut adalah sudut pandang yang Antroposentris (berpusat pada manusia) ketimbang yang Ekosentris (berpusat pada bumi).Pandangan Antroposentris ini berangkat dari teori utilitarian yang rasional yang berdasarkan atas kepentingan diri manusia. Konsep antroposentris memenihilkan nilai yang dimiliki alam. Sehingga alam hanya berharga jika ia berguna bagi manusia.

            Berkurangnya luas hutan berkaitan dengan pembangunan. Pembangunan selalu menjadi agenda yang dipilih Pemerintah untuk mencapai kesejahteraan bagi semua masyarakat. Pembangunan dilakukan dengan membuka lahan atau mengalihfungsikan hutan. Sehingga hutan kerap menjadi korban dari pembangunan. Padahal hutan berfungsi sebagai penyangga ekosistem, di mana ia menjadi habitat bagi flora dan fauna. Salah satunya adalah Harimau Sumatera. Akibatnya, kualitas, kuantitas, dan daya dukung habitat terhadap Harimau Sumatera menurun. Selain itu, jenis satwa yang menjadi makanan harimau (seperti rusa, babi hutan, dll) juga menurun karena mengungsi ke tempat lain atau karena mati; hilangnya tempat berlindung dan tempat membesarkan anak harimau; serta berubahnya wilayah harimau.

Ekologi Politik: Benturan Kepentingan

            Eder (dalam Buhrdan Reiter, 2006: 3) menjelaskan transformasi lingkungan melalui tiga fasenya. Tahap pertama sebagai fase di mana ketidakcocokan antara ekologi dan ekonomi menandai suatu masalah lingkungan. Ekologi - dalam hal ini hutan- dianggap hanya memiliki nilai instrumental saja. Sehingga, ekologi menjadi sumber daya yang boleh dikeruk untuk kepentingan manusia.

            Persoalan lingkungan terjadi karena menggabungkan ekologi dengan politik. Menurut Bryant dan Bailey, ekologi politik digunakan untuk melakukan penyelidikan terhadap bekerjanya kekuatan-kekuatan yang membentuk konfigurasi konstelasi politik ekologi di suatu kawasan (Kuswijayanti, dkk: 2007: 44).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun