Sebagai kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia, Surabaya menghadapi tantangan serius terkait kemacetan lalu lintas. Sebagai pusat perdagangan, pendidikan, hingga industri, pergerakan orang dan barang di Surabaya sangat tinggi setiap harinya. Aktivitas ini memang menjadi motor penggerak ekonomi kota, tetapi di sisi lain, memunculkan persoalan klasik: kemacetan lalu lintas yang menurunkan produktivitas masyarakat dan menambah biaya ekonomi.
Kondisi Kemacetan di Surabaya
Beberapa titik rawan macet di Surabaya yang hampir setiap hari ramai dilaporkan warga, antara lain:
Bundaran Waru (Aloha -- Margorejo -- Jemursari) akses utama dari arah Sidoarjo menuju Surabaya.
Jembatan Merah -- Tanjung Perak jalur distribusi barang menuju Pelabuhan Tanjung Perak.
Ahmad Yani -- Wonokromo -- Darmo salah satu jalur terpadat karena percampuran kendaraan pribadi, angkot, dan bus kota.
Kenjeran -- MERR (Middle East Ring Road) meski dibangun untuk mengurai macet, pada jam sibuk tetap padat karena pertumbuhan perumahan dan pusat komersial baru.
Data Dinas Perhubungan Kota Surabaya (2023) menunjukkan bahwa volume kendaraan meningkat 6--8% per tahun, terutama sepeda motor dan mobil pribadi. Peningkatan ini jauh lebih cepat dibanding pelebaran jalan atau penyediaan moda transportasi publik.
Dampak Ekonomi bagi Surabaya
Kerugian waktu produktif: ribuan pekerja terlambat tiba di kantor akibat padatnya jalur Ahmad Yani--Wonokromo.
Biaya distribusi barang lebih mahal: kontainer menuju Tanjung Perak sering tertahan, menambah ongkos logistik dan membuat harga barang lebih tinggi.