Mohon tunggu...
Bing Sunyata
Bing Sunyata Mohon Tunggu... Teknisi - Male

Pekerja di sebuah industri percetakan kertas (packaging) Tanggal lahir yang tertera disini beda dengan yang di KTP, begitu juga dengan agama. :) Yang benar yang tertera disni. Mengapa KTP tidak dirubah ? Satu aja ..., malas kalau dipingpong.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rancangan Penataan, Sebuah Pemikiran (6-Sambungan)

16 April 2018   17:11 Diperbarui: 16 April 2018   21:52 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menghindari pemakaian rumusan (-X) + X = 0 itu, terkait dengan masalah perang. Kiranya tidak dibawa begitu saja pada masalah lain. Disebabkan ada beberapa hal terkait sesuatu yang dikatakan bersifat negatif itu, ada/muncul ... secara alamiah. Semisal, terkait dengan penyakit. Kita mungkin mengangankan agar/untuk tidak pernah sakit, namun dengan ilmu pengetahuan yang ada saat sekarang, kiranya masih belum mencukupi untuk tiba pada level tersebut. 

Menghindari pemakaian rumusan tersebut, tidak dimaksudkan untuk menghilangkan keberadaan X. Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, X itu masih bisa mengada pada rumusan lain. Yang mana dikemukakan sebelumnya sebagai X = X. Kiranya ini sangat logis sifatnya, berkaitan dengan bagaimana upaya manusia dalam "turut menata" wilayah yang didiaminya.

Dimana penjelasan untuk itu mudah sekali. Untuk apa, susah-susah memikirkan rancangan sebuah penataan berikut upaya mewujudkannya, bila semua itu kemudian akan hancur oleh perang. Buang-buang energi dan waktu saja. Mending, membaca buku, nonton film, "karokean" atau ngegame saja. :) Dan bukan mengenai logika semata, tetapi juga terkait dengan perasaan. Apa memang perlu untuk mengadakan perang, semata agar si X itu bisa mengada dan menjadi suatu hal yang legal karenanya ? Tidakkah itu merupakan suatu hal yang nonsenses.

Pernah saya mengungkapkan, bahwa beberapa karya seni itu terjadi manakala si seniman berada dalam keadaan menderita. Namun patut untuk diketahui kiranya, bahwa penderitaan yang dimaksud tidak selalu identik dengan perang. Hal-hal biasa yang terjadi dalam kehidupan sehari hari lainnya, seperti kemiskinan, penyakit dan semacamnya kiranya sudah lebih dari cukup untuk membuat seorang manusia merasa menderita.

Terkait dengan keberadaan angkatan perang yang ada pada sebuah negara (pada masa sekarang), kiranya perlu dipandang layaknya peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan yang ada di rumah-rumah. Mempunyai, tetapi sebisa mungkin diupayakan untuk tidak digunakan. 

Kita juga harus membedakan antara tentara/prajurit/serdadu yang ada pada jaman sekarang dengan warrior pada jaman dahulu yang mana memang mendedikasikan hidupnya pada "jalan perang", bahkan mungkin dengan suka hati untuk bisa menemui akhir hidupnya di medan laga.

Terkait dengan ini, patut dipikirkan juga mengenai keberadaan mereka (para prajurit) sebagai seorang manusia biasa, bahwa ada waktunya dimana mereka untuk mengahiri masa bakti mereka sebagai seorang prajurit dan kembali ke lingkup sipil di masyarakat. Kiranya ini juga bisa menjawab permasalah terkait dengan jumlah tenaga kerja. Dimana bila itu bisa diterapkan dengan baik, kiranya jumlah penduduk ideal menurut kondisi suatu negara tidaklah perlu terlampau banyak-banyak amat. Terkait perancangan/perencanaan yang ini, patut juga diperhatikan bagaimana naiknya tingkat kesejahteraan dan pendidikan, juga membuat harapan hidup (terkait usia) seorang manusia dapat bertambah.

...

Disisi lain ..., ditemui juga ada beberapa pihak yang memilih jalur "kerohanian" sebagai upaya untuk "mengobati" trauma/stress/sejenisnya yang mengada sebagai akibat terjadinya peperangan. Sama seperti halnya pesta yang dikemukakan sebelumnya, berbagai ritual pun kemudian mengalami perluasan makna.

Apa yang sebelumnya dilakukan semata untuk mendekatkan diri seorang manusia kepada penciptanya, dipakai sebagai pengobat/pelipur lara yang ada.  Dimana seiring dengan berjalannya waktu, tentunya hal tersebut kemudian menyebabkan timbulnya perbedaan terkait apa yang ada dalam sebuah ritual/ajaran agama karena sudut pandang yang berbeda, antara seorang monk/pendeta, dengan seorang warrior.

Terkait dengan warrior yang dimaksud, patut dibedakan dengan keberadaan warrior monk.Dimana yang terakhir disebut itu,  pertama kali kemunculannya ketika para monk (yang tentunya terlebih dahulu berkecimpung dalam agama)  menjadi warrior, disebabkan karena kondisi yang terjadi di sekeliling mereka mengharuskan mereka melakukannya agar mereka bisa tetap survive. Tentunya berbeda dengan seorang warrior yang habis bunuh-bunuh sekian puluh orang kemudian merasa menyesal, berdoa minta pengampunan, menyatakan tobat, dan besoknya kemudian pergi perang lagi.

Bersambung ...

Peeeace 4 all

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun