Mohon tunggu...
Cahyo Bimo Prakoso
Cahyo Bimo Prakoso Mohon Tunggu... Blog

Karyawan swasta

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Air Berkah : Monumen Kematian Welfare State Konstitusi

9 Oktober 2025   19:00 Diperbarui: 7 Oktober 2025   17:35 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash


Fenomena Ponari, 'Air Berkah', dan ramainya pencarian mukjizat pada figur suci bukan lagi sekadar anomali kultural. Ini adalah monumen kegagalan fungsional negara dalam menunaikan janji konstitusi. Di tengah derasnya informasi pasca-Reformasi, jutaan warga masih memilih jampi-jampi karena mereka telah kehilangan keyakinan pada sistem yang seharusnya melindungi. Pilihan 'Air Berkah' adalah indikator nyata krisis legitimasi terhadap Negara Kesejahteraan (Welfare State) yang diamanatkan.

Indonesia, secara filosofis dan legal, terikat pada konsep Welfare State Lord William Beveridge: negara wajib melindungi kesejahteraan umum dan mengurangi kesenjangan. Komitmen ini tercantum tegas dalam UUD 1945. Pasal 28H Ayat (1) menjamin hak atas pelayanan kesehatan, sementara Pasal 34 Ayat (3) mewajibkan negara menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang layak. Saat masyarakat memilih air rendaman batu ketimbang Puskesmas, kita menyaksikan pengkhianatan terhadap amanat konstitusi tersebut.

Rasionalitas Ekonomi di Balik Pilihan Fatal

Hubungan fenomena Air Berkah dengan kegagalan keadilan bersifat kausal: mahalnya akses medis telah membunuh harapan.

Bagi jutaan rakyat di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal), memilih fasilitas kesehatan formal adalah rasionalitas ekonomi yang brutal. Berobat ke rumah sakit, meskipun ada BPJS, seringkali menuntut biaya tak langsung yang mematikan: ongkos transportasi ke kota sejauh ratusan kilometer, kehilangan upah harian karena antrean berjam-jam, dan birokrasi rujukan yang bertele-tele. Total biaya non-medis ini jauh lebih mencekik daripada iuran BPJS itu sendiri.

Maka, ketika 'Air Berkah' ditawarkan secara seikhlasnya dan dapat diakses secara instan, pilihan itu menjadi solusi bertahan hidup. Mereka dipaksa memilih antara mati karena penyakit (risiko spiritual) atau mati karena kelaparan dan utang (risiko ekonomi). Pilihan untuk meminum air itu bukan cerminan kebodohan, melainkan respon putus asa terhadap kegagalan negara menghilangkan pagar ekonomi yang membatasi hak konstitusional mereka.

Hilangnya Martabat dan Empati Birokrasi

Krisis ini diperparah oleh hilangnya martabat dalam pelayanan publik. Sistem kesehatan formal gagal memberikan pelayanan yang humanis dan berempati. Birokrasi yang kaku dan komunikasi medis yang dingin membuat pasien merasa sebagai objek administrasi semata.

Kontras dengan Ustad atau figur spiritual yang menawarkan kehangatan emosional dan keyakinan spiritual yang kuat, sistem negara terasa terlampau transaksional. Dalam keputusasaan dan ketakutan, masyarakat memilih otoritas yang memberikan rasa aman dan kenyamanan, alih-alih otoritas yang hanya menyajikan prosedur. Kegagalan ini melanggar amanat Pancasila, khususnya Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Negara tidak hanya gagal menyediakan alat medis; negara gagal menyediakan harapan yang terjamin secara etis.

Tuntutan: Keadilan Wajib Dimulai dari Puskesmas

Menyikapi fenomena ini dengan hanya mengutuk takhayul adalah sikap dangkal dan pengecut. Solusi yang mendasar adalah reformasi struktural yang mendesak dan politis.

Negara harus segera mengakhiri ketidakadilan ini melalui tindakan nyata:

  1. Stop Defisit Fasilitas: Alih-alih hanya berfokus pada Rumah Sakit rujukan di kota besar, pemerintah wajib memprioritaskan alokasi dana secara spesifik untuk pemerataan dan peningkatan kualitas Puskesmas di wilayah terpencil. Puskesmas harus menjadi garda terdepan yang kredibel, bukan sekadar pos pertolongan pertama.

  2. Hapuskan Pagar Ekonomi: Pemerintah harus menjamin insentif yang memadai bagi dokter dan tenaga kesehatan agar mau bertugas di daerah terpencil, menghilangkan alasan utama ketidakmerataan SDM.

  3. Kembalikan Martabat Pasien: Pelayanan publik harus diatur secara ketat agar birokrasi tidak lagi mencekik, memastikan setiap pasien diperlakukan cepat, transparan, dan berempati.

Selama negara membiarkan jurang pemisah antara hak (yang tertulis di UUD) dan realitas (mahalnya akses) terus melebar, masyarakat akan terus mencari monumen harapan di luar sistem.

Selama negara takut menghadapi mahalnya keadilan, rakyat akan terus mencari penyembuhan termurah, meski risikonya adalah peti mati.


Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun