Mohon tunggu...
Bimo E. Ardhianto
Bimo E. Ardhianto Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa jurusan Madiun-Surabaya. Pemalu tapi (kayaknya) ndak memalukan. Suka dengan pemandangan alam, tapi tidak suka travelling. Salah satu anggota komisi fiktif penggiat kampanye masyarakat ideal.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Catatan Singkat Selepas Lebaran

29 Juli 2014   16:41 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:56 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kalau kamu ingat, berarti kamu nggak lupa.”

Kata-kata di atas, bagi sebagian orang mungkin terlihat biasa. Ya jelas dong, kalau kita ingat itu kita nggak lupa, bukan? Benar, anda dan saya pasti tahu hal itu. Tentunya semua orang pun menerimanya. Adik saya yang paling kecil pun juga setuju kok. Apa ada masalah?

Tidak, sama sekali tidak ada masalah dengan kata-kata di atas. Yang menjadi masalah itu kalau ada beberapa bagian dari kata tersebut yang kita ubah. Nggak percaya? Coba sekarang kita rubah saja.

“Kalau kamu baik, berarti kamu nggak jahat.”

“Kalau kamu rendah hati, berarti kamu nggak tinggi hati.”

“Kalau kamu peduli, berarti kamu nggak nggak peduli.”

Apa yang salah dengan kalimat-kalimat itu? Bukan kalimatnya yang salah sebenarnya, akan tetapi dalam realitasnya, kita terkadang tidak mematuhi prinsip nonkontradiksi yang terkandung dalam kalimat-kalimat itu. Secara logika, jika kita berada di satu sisi, maka kita tidak bisa berada pada satu sisi yang lain. Contoh mudahnya, tidak mungkin kita berada pada golongan orang miskin kalau kita ini kaya, dan seterusnya. Prinsip ini jelas dan sudah pasti berlaku dalam kehidupan kita. Tapi lucu dan ironisnya, justru manusia itu sering kali ‘main mata’ dengan prinsip sederhana ini. Banyak orang kaya yang justru ingin di anggap miskin. Orang yang katanya baik tapi tingkahnya buruk. Orang-orang yang tidak punya idealisme, yang terombang-ambing dalam arus kehidupan. Ah, jangan jauh-jauhlah, mari kita lihat diri kita sendiri. Sudahkah kita berjalan lurus dengan apa yang kita ucapkan? Kalau pernah bicara ‘kita itu harus memedulikan orang lain’, sudahkah pernah melakukan tindakan yang sesuai dengan kata-kata kita itu?

Siapa yang paling sering anda salahkan ketika sebuah peristiwa atau keadaan menimpa anda? Sering kita lihat di berbagai tempat, terutama di kemacetan, banyak orang yang saling memaki, teriak sana-sini bahkan sampai menyalahkan jalanan. Ketika tabrakan di jalan raya terjadi, sudah jelas akan ada kegiatan saling salah menyalahkan. Ah, jangankan di jalanan, di rumah pun sering kali terjadi. Anda bisa memutuskan ingatan mana yang ingin anda ingat untuk kalimat sebelumnya. Yang jelas, anda pasti sepakat dengan saya bahwa kita sebagai manusia cenderung tidak ingin merasa bersalah. Kalaupun kita berada pada pihak yang salah, pasti alasan-alasan untuk melindungi harga diri kita selalu kita keluarkan. Sifat ini memang sesuatu yang ada pada diri kita untuk perlindungan harga diri, tapi sayangnya, kalau sudah keterlaluan, sifat ini justru membuat kita nggak pernah merasa bersalah dan akhirnya bertindak sesuka hati, semena-mena, seolah-olah kita itu manusia yang sempurna. Ah, kita memang terlalu toleran terhadap diri kita sendiri, dan terlalu kejam pada orang lain. Kadang, perkataan orang lain kita anggap sebagai bumerang yang akan menghancurkan kita, dan karena itu kita melempar pisau terlebih dahulu kepada orang lain. “Tahu apa kamu!” dan perkataan senada yang lain. Cobalah dihitung berapa kali anda menyalahkan orang lain, bandingkan dengan anda menyadari kesalahan diri anda sendiri. Berapa banding berapa?

Sekarang kita kembali pada apa yang pertama kali kita bahas. Sebenarnya saya ingin menunjukkan pada anda bahwa dalam memegang idealisme itu susah, banyak tantangannya. Siapa yang selalu berlaku baik? Siapa yang bisa selalu benar? Siapa pula yang nggak pernah salah? Sepintar apapun manusia, sekaya apapun dia, setinggi apapun tinggi badannya, seberat apapun pahalanya, manusia itu bukan makhluk yang sempurna. Terkadang ada salahnya, dan tak jarang sering ‘berdosa’. Egosentrisme, melihat semuanya dari sudut pandang sendiri, membuat kita terjatuh terlalu dalam pada kubangan ‘kesalahan’ dan dosa ini. Egosentrisme, sering kali membuat kita egois dan sok benar, melihat semuanya dan menilai semuanya berdasarkan pertimbangan kita sendiri, tanpa peduli pada sudut pandang orang lain. Kalau sudah terlalu jauh, kita bisa jadi seperti ‘binatang’ yang tega bukan main mengejek, menindas, ngelokne, bahkan mematikan harga diri orang lain. Ironisnya lagi, kita justru tambah senang kalau hal itu terjadi. Sifat yang berbahaya bukan?

Di tengah jaman di mana rasa kemanusiaan semakin langka, kita yang katanya ‘manusia’ justru lebih sering tidak ‘memanusiakan’ orang lain. Padahal, bagi anda yang beragama Islam, pasti tahu mengapa alasannya Al Fatihah menjadi surat pertama dalam Al Quran, sedangkan An Nas menjadi penutup Al Quran. Banyak ayat yang berbicara tentang kebaikan terhadap sesama manusia. Pernah saya membayangkan sebuah muslim yang ideal, punya kesalehan sosial dan kesalehan ritual. Ah, contoh konkretnya sudah jelas Nabi Muhammad, Abu Bakar, Umar, Salman Al Farisi, Ali, dan sahabat-sahabat lainnya yang tidak hanya rajin salat tapi juga rajin memikirkan orang lain. Entah saya ini kerasukan apa, saya kepingin ketemu dengan orang-orang seperti mereka lagi. Dan sebuah keberuntungan yang luar biasa bagi saya, saya bertemu dengan ‘tiruan’ mereka pada tempat yang tidak terlalu jauh, hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajah saya. Yap, saya mencari mereka di depan layar laptop dan telepon genggam saya. Saya googling dengan kata kunci kemanusiaan, dan yang saya temukan menyejukkan hati saya. Setidaknya saya pun melihat orang-orang yang memiliki kesalehan sosial, walaupun mereka mungkin tidak beragama Islam. Apa yang menjadi titik berat dari pencarian saya adalah mencari gambaran muslim yang kaffah. Muslim yang utuh dan tidak separo badan. Muslim yang tidak egosentris dan mawas diri, peduli pada kewajiban dan tahu bagaimana bersikap di tengah jaman yang semakin modern dan melupakan kemanusiaan ini.

Tanpa terasa, Ramadhan usai dan Idul Fitri datang, kemarin ( 28/7). Orang-orang serumah tampil dengan baju baru masing-masing. Berbarengan kami berangkat ke masjid untuk salat ‘Id, dan pada hari itu juga kesabaran kami sudah diuji. Seolah-olah rapor Ramadhan kami dipertanyakan oleh Allah. “Halah, Poso opo we ki, jajal di tes dulu lah ini orang punya kesabaran sama ketika waktu Ramadhan atau nggak?” Mungkin begitu ucap para malaikat. Entah suara malaikat benar atau bukan, tapi di sepanjang hari saya seolah mendengar bisikan-bisikan bernada negatif yang tidak berbahagia dengan datangnya Idul Fitri ini. “Dasar, kalau di Idul Fitri saja ingat mau minta maaf..”, ucapan semacam itu menghantui saya sejak kemarin. Saya nggak tahu apakah itu suara malaikat yang mau ngeksis di depan saya atau tidak, tapi kalau boleh jujur dan terbuka, sebenarnya saya pun setuju dengan suara-suara itu. Seandainya Idul Fitri nggak datang, apakah mungkin maaf-maafan itu akan terjadi? Ah, tapi saya nggak mau jadi orang yang egosentris berlebihan. Biarlah mereka bermaafan, toh, hal itu pun baik, tidak ada salahnya. Sementara bagi saya sendiri, apa yang lebih penting adalah menjadi ucapan dan tindakan saya agar sesuai. Saya tidak mau menjadi orang bermuka dua yang hari ini memaafkan tapi keesokan harinya menyalahkan. Biarlah toh kalau memang dulu kami semua berbuat salah, sekarang semoga saja kami semua sudah mau menyadari kesalahan masing-masing dan tidak lagi merasa benar sendiri. Toh, pada akhirnya Allah yang mengadili kita semua.

Pada akhirnya, saya hanya ingin mengingatkan, datangnya Idul Fitri tidak menjamin dosa anda pada orang lain sudah hilang, semua tergantung pada perilaku anda ke depan. Apakah mau merasa benar sendiri dan menyalahkan orang lain tanpa peduli keadaan?

Anda yang memilih, anda yang memilih...

Minal Aidzin wal Faidzin...!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun