Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Blogger

Nomine Best in Opinion Kompasiana Awards 2024 | Konsisten mengangkat isu-isu yang berhubungan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), terutama yang terpantau di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Wisatawan Datang Berjuta, Pergi Tanpa Jejak: Dilema Pariwisata Jakarta

30 September 2025   23:03 Diperbarui: 30 September 2025   23:50 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monas sebagai simbol Kota Jakarta dan Ibu Kota Negara Indonesia. (Canva.com via Kompas.com)

Kondisi ini tentu kontras dengan potensi besar yang dimiliki Jakarta sebagai kota metropolitan kaya akan sejarah, budaya, dan destinasi modern.

Urgensi masalah ini semakin nyata, ketika dibandingkan dengan kota-kota kompetitor di Asia Tenggara. Singapura, Bangkok, dan Kuala Lumpur berhasil membuat wisatawan tinggal rata-rata 3-5 hari dengan strategi pencitraan destinasi yang kuat dan pengalaman wisata yang berkesan.

Jakarta, dengan populasi lebih besar dan potensi budaya yang lebih beragam, seharusnya mampu bersaing. Namun, fakta wisatawan nusantara hanya tinggal 1,53 hari menunjukkan, bahwa bahkan warga Indonesia sendiri tidak melihat Jakarta sebagai destinasi menarik untuk berlibur lebih lama.

Jakarta gagal menciptakan pengalaman wisata yang kohesif dan berkesan

Hemat saya, akar permasalahan rendahnya durasi tinggal wisatawan di Jakarta adalah kegagalan untuk menciptakan pengalaman wisata yang kohesif, mudah diakses, dan berkesan.

Jakarta memiliki aset wisata yang melimpah, mulai dari Kota Tua yang bersejarah, kawasan kuliner Blok M-Senopati, pusat belanja modern, hingga pantai Ancol dan Kepulauan Seribu. Namun aset-aset ini, tersebar tanpa narasi yang mengikat dan sistem transportasi yang mengintegrasikannya dengan baik.

Perbandingan dengan Tokyo yang disampaikan Kadek Arini sangat relevan. Di Tokyo, sejak mendarat di bandara, wisatawan sudah mendapat pengalaman mulus: pusat informasi yang informatif, transportasi publik yang terintegrasi penuh, papan petunjuk dalam berbagai bahasa, dan ruang publik berkualitas yang gratis.

Jakarta, sebaliknya, masih menghadapi tantangan mendasar dalam hal-hal tersebut. Bandara Soekarno-Hatta belum memiliki pusat informasi wisata yang komprehensif.

Sistem transportasi publik, meskipun telah berkembang dengan adanya MRT dan LRT, belum terintegrasi penuh dan belum menjangkau seluruh destinasi wisata penting di Jakarta hingga Kepulauan Seribu.

Argumen saya ini diperkuat oleh fakta, bahwa Pemprov DKI telah melakukan berbagai usaha, mulai dari penerbitan Keputusan Gubernur tentang pedoman pariwisata urban pada 2022, pengembangan kawasan terpadu seperti Kota Tua dan Glodok, revitalisasi M-Bloc dan Pos-Bloc, hingga optimalisasi taman kota seperti Lapangan Banteng dan Taman Tebet.

Bahkan, Taman Bendera Pusaka sedang dibangun sebagai bagian dari penguatan pariwisata urban. Namun, semua usaha ini masih bersifat fragmentasi tanpa strategi holistik yang menghubungkan titik-titik wisata menjadi satu perjalanan yang menarik bagi wisatawan.

Masalah lain yang krusial adalah kurangnya proposisi penjualan unik Jakarta sebagai destinasi wisata. Ketika ditanya mengapa harus berlama-lama di Jakarta, jawaban yang muncul sering kali tidak sekuat kota-kota kompetitor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun