Penumpukan limbah cangkang kerang di Cilincing memicu pencemaran lingkungan multidimensi. Seperti apa dampak pencemarannya?
Pertama, limbah ini menyebabkan pendangkalan kawasan pesisir karena volume tumpukan yang masif. Akibatnya, lalu linta kapal nelayan menjadi terganggu.
Kedua, tumpukan cangkang bercampur dengan sampah rumah tangga, menimbulkan bau tidak sedap yang mengganggu permukiman warga.
Ketiga, dan yang paling mengkhawatirkan, tumpukan ini menjadi sarang penyakit yang mengancam kesehatan masyarakat sekitar, terutama anak-anak yang menjadikannya tempat bermain.
Urgensi masalah ini terletak pada ketiadaan solusi sistematis. Warga tidak bisa membuang limbah cangkang kerang ke Tempat Penampungan Sementara (TPS) karena sifatnya yang berbeda dari sampah rumah tangga biasa.
Pemerintah belum menyediakan fasilitas khusus untuk pengelolaan limbah jenis ini. Akibatnya, warga terjebak dalam pilihan sulit: terus menumpuk limbah di pinggir pantai atau menghentikan aktivitas ekonomi mereka sebagai pengolah kerang.
Lebih jauh lagi, masalah ini mencerminkan kegagalan paradigma pengelolaan limbah yang hanya fokus pada disposal (pembuangan) tanpa mempertimbangkan potensi ekonomi dari limbah tersebut.
Cangkang kerang adalah material yang tidak mudah terurai, namun di sisi lain memiliki karakteristik fisik yang ideal untuk diolah menjadi berbagai produk.
Ketiadaan infrastruktur dan pengetahuan untuk mengolah limbah ini menjadi akar permasalahan yang harus segera diatasi.
Ekonomi sirkular sebagai jalan keluar
Saya berpendapat, bahwa krisis limbah cangkang kerang di Cilincing harus didekati dengan paradigma ekonomi sirkular, bukan sekadar pengelolaan sampah konvensional.
Secara sederhana ekonomi sirkular adalah model ekonomi yang bertujuan mengeliminasi limbah dengan merancang ulang sistem produksi dan konsumsi, sehingga 'sampah' dapat menjadi 'sumber daya.'