Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Blogger

Nomine Best in Opinion Kompasiana Awards 2024 | Juara Favorit Blog Competition Badan Bank Tanah 2025

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Jakarta dan Bayang-Bayang Kaum Marginal yang Tak Kunjung Sirna

24 September 2025   07:52 Diperbarui: 24 September 2025   11:51 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah gerobak milik pemulung di sekitar Kali Ciliwung, Jakarta Pusat, Kamis (30/3/2023). (KOMPAS/NASRUN KATINGKA)

Pemandangan pemulung dan manusia gerobak yang tidur di atas trotoar di depan rusun atau pertokoan telah menjadi fenomena yang tidak asing bagi warga Jakarta.

Kehadiran mereka di setiap sudut ibu kota menunjukkan, bahwa permasalahan pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial (PPKS) masih menjadi tantangan besar yang belum terselesaikan secara komprehensif.

Berdasarkan Permensos Nomor 5 Tahun 2019, PPKS didefinisikan sebagai perseorangan, keluarga, kelompok, dan masyarakat yang karena hambatan tertentu tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya sehingga memerlukan pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Kategori ini mencakup anak telantar, anak jalanan, penyandang disabilitas, gelandangan, pengemis, pemulung, dan kelompok rentan lainnya. Kita bisa menyebut mereka sebagai kaum marginal.

Data Dinas Sosial DKI Jakarta menunjukkan, bahwa pada tahun 2023 terdapat 7.345 PPKS yang terjaring, sementara pada periode Januari-April 2024 tercatat 2.070 kasus.

Angka ini mengindikasikan, bahwa permasalahan PPKS bukan sekadar isu temporer, melainkan persoalan struktural yang membutuhkan penanganan sistematis dan berkelanjutan.

Pendekatan rehabilitasi yang tidak efektif

Sistem rehabilitasi yang diterapkan Dinas Sosial DKI Jakarta saat ini masih mengandalkan pendekatan konvensional yang terbukti kurang efektif dalam menyelesaikan akar permasalahan PPKS.

Model rehabilitasi selama enam bulan di panti sosial sebelum dikembalikan ke masyarakat hanya memberikan solusi sementara tanpa menyentuh aspek fundamental penyebab kemiskinan struktural.

Program pelatihan yang diberikan selama masa rehabilitasi, seperti pelatihan montir dan las, memang memberikan keterampilan teknis kepada PPKS.

Namun, tanpa disertai penyediaan lapangan kerja yang memadai, keterampilan tersebut menjadi tidak bermakna dalam konteks pemberdayaan ekonomi jangka panjang.

Ketiadaan akses terhadap pekerjaan yang layak dan berkelanjutan menjadi faktor utama yang mendorong PPKS kembali ke jalanan setelah menjalani program rehabilitasi.

Lebih krusial lagi, pendekatan rehabilitasi yang ada belum menyediakan jaminan tempat tinggal yang permanen bagi para lulusan program.

Tanpa kepastian hunian yang layak, mereka tidak memiliki pilihan lain selain kembali ke tempat-tempat tidak layak seperti kolong jembatan atau trotoar-trotoar kota.

Kondisi ini menciptakan siklus kemiskinan yang berulang dan kontraproduktif dengan tujuan program rehabilitasi itu sendiri.

Evaluasi mendalam terhadap efektivitas program rehabilitasi menunjukkan, bahwa tingkat recidivism atau kembalinya PPKS ke jalanan setelah menjalani program masih sangat tinggi.

Hal ini mengindikasikan, bahwa pendekatan yang ada belum mampu memutus mata rantai kemiskinan dan marginalisasi sosial yang dialami kelompok rentan ini.

Diperlukan transformasi paradigma dari model rehabilitasi yang bersifat karitatif menuju pendekatan pemberdayaan yang holistik.

Program rehabilitasi harus diintegrasikan dengan skema pemberian modal usaha, akses terhadap pasar, dan jaminan tempat tinggal yang berkelanjutan untuk memastikan keberlanjutan dampak positif program tersebut.

Pentingnya penyediaan hunian layak

Ketersediaan hunian yang layak merupakan prasyarat fundamental dalam upaya penyelesaian permasalahan PPKS di Jakarta.

Tanpa jaminan tempat tinggal yang memadai, program-program pemberdayaan lainnya akan kehilangan makna dan dampak jangka panjangnya.

Rumah Susun Sentra Mulya Jaya Jakarta yang dikhususkan bagi PPKS di Komplek RPTC Bambu Apus Jakarta Timur menjadi contoh konkret kehadiran negara dalam memberikan solusi hunian bagi kelompok marginal.

Program rusun dengan tarif sewa sangat terjangkau sebesar Rp10.000 per bulan ini, menunjukkan komitmen pemerintah dalam memberikan subsidi hunian bagi kelompok marginal.

Model ini tidak hanya menyediakan tempat tinggal yang layak, tetapi juga memberikan stabilitas dan keamanan yang diperlukan untuk membangun kehidupan yang lebih baik.

Penghuni rusun yang beragam, mulai dari kelompok rentan, lanjut usia, hingga penyandang disabilitas, menciptakan komunitas inklusif yang saling mendukung.

Keberadaan rusun khusus PPKS juga berkontribusi pada upaya penataan kota yang lebih baik.

Dengan memindahkan PPKS dari lokasi-lokasi tidak layak seperti kolong jembatan dan trotoar ke hunian yang proper, Jakarta dapat mengurangi kesan kumuh dan meningkatkan kualitas ruang publik kota.

Hal ini tentu sejalan dengan visi Jakarta sebagai kota modern dan berkeadilan sosial.

Namun demikian, satu unit rusun di Jakarta Timur tentu belum memadai untuk menampung ribuan PPKS yang tersebar di seluruh wilayah DKI Jakarta.

Data menunjukkan bahwa Jakarta Pusat memiliki laporan PPKS terbanyak dengan 1.663 kasus, diikuti Jakarta Barat dengan 1.477 kasus.

Distribusi geografis ini menuntut pembangunan rusun PPKS di setiap wilayah administrasi untuk memastikan aksesibilitas dan efektivitas program.

Pengembangan program rusun PPKS harus diintegrasikan dengan perencanaan tata ruang kota yang komprehensif.

Lokasi rusun perlu dipilih secara strategis dengan mempertimbangkan akses terhadap transportasi publik, fasilitas kesehatan, pendidikan, dan peluang ekonomi.

Integrasi spatial (atau integrasi spasial) ini akan memaksimalkan dampak positif program terhadap kehidupan PPKS dan kontribusinya bagi pembangunan kota secara keseluruhan.

Perlunya koordinasi lintas instansi

Kompleksitas permasalahan PPKS memerlukan pendekatan multisektoral yang melibatkan berbagai instansi pemerintah dalam skema koordinasi yang terintegrasi.

Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sebagai ujung tombak penertiban tidak dapat bekerja secara parsial tanpa dukungan dari dinas-dinas terkait lainnya.

Koordinasi yang efektif antara Satpol PP, Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi, serta Dinas Perhubungan menjadi kunci keberhasilan program penanganan PPKS.

Dinas Sosial sebagai leading sector harus mampu mengintegrasikan program-program rehabilitasi dan pemberdayaan dengan skema-skema yang dijalankan instansi lain.

Dinas Tenaga Kerja berperan vital dalam menyediakan akses pekerjaan dan pelatihan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja.

Sinergi kedua instansi ini akan memastikan, bahwa program rehabilitasi tidak hanya memberikan keterampilan teknis, tetapi juga akses nyata terhadap peluang ekonomi.

Dinas Transmigrasi dan Energi memiliki peran strategis dalam mengembangkan program relokasi bagi PPKS yang bersedia dipindahkan ke daerah-daerah dengan peluang ekonomi yang lebih baik.

Program ini harus dirancang secara hati-hati dengan mempertimbangkan aspek sosial budaya dan kesiapan daerah tujuan.

Relokasi yang sukses dapat mengurangi beban PPKS di Jakarta sekaligus mendistribusikan sumber daya manusia ke daerah-daerah yang membutuhkan.

Dinas Perhubungan berkontribusi dalam menyediakan akses transportasi publik yang terjangkau bagi PPKS untuk mengakses lokasi kerja dan fasilitas publik lainnya.

Integrasi sistem transportasi dengan lokasi hunian PPKS akan meningkatkan mobilitas sosial dan ekonomi kelompok ini. Subsidi transportasi khusus dapat menjadi bagian dari paket pemberdayaan yang komprehensif.

Mekanisme koordinasi lintas instansi harus didukung oleh sistem monitoring dan evaluasi yang terintegrasi.

Data PPKS yang dikelola bersama akan memungkinkan setiap instansi untuk merencanakan program-program yang sinergis dan menghindari duplikasi atau gap dalam pelayanan.

Platform digital terintegrasi dapat menjadi solusi untuk manajemen data dan koordinasi program yang lebih efisien.

Kesimpulan

Penanganan PPKS atau kaum marginal di wilayah Jakarta memerlukan transformasi paradigma dari pendekatan karitatif menuju pemberdayaan holistik yang berkelanjutan.

Tiga pilar utama yang harus dikuatkan meliputi reformasi sistem rehabilitasi dengan integrasi pemberian modal usaha, pengembangan program hunian layak yang dapat diakses di seluruh wilayah Jakarta, dan koordinasi lintas instansi yang efektif untuk memastikan sinergi program.

Kehadiran negara melalui program rusun khusus PPKS harus diperluas dan diperkuat sebagai manifestasi komitmen terhadap keadilan sosial.

Dengan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan, Jakarta berpotensi menjadi model kota yang berhasil mengatasi permasalahan kemiskinan urban dan menciptakan inklusivitas sosial yang bermakna bagi seluruh warganya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun