Beberapa alasan utama yang menyebabkan penolakan tersebut antara lain sebagai berikut:
Pertama, kenyamanan dan keterikatan dengan lingkungan saat ini. Banyak warga telah tinggal di lokasi mereka saat ini selama bertahun-tahun, bahkan turun-temurun.
Mereka telah menjalin hubungan sosial yang kuat dengan tetangga dan komunitas sekitar, sehingga enggan meninggalkan lingkungan yang sudah mereka kenal.
Pindah ke rusun berarti harus beradaptasi lagi dengan lingkungan baru yang mungkin tidak seakrab lingkungan lama mereka.
Kedua, kekhawatiran terhadap biaya sewa dan beban ekonomi. Meskipun pemerintah menawarkan biaya sewa yang sangat terjangkau, masih ada kekhawatiran di kalangan warga bahwa biaya ini dapat meningkat di masa mendatang.
Banyak warga takut bahwa setelah beberapa bulan, biaya sewa akan naik atau ada biaya tambahan yang belum mereka pahami sepenuhnya.
Ketiga, mata pencaharian yang terganggu. Banyak warga di daerah rawan banjir bekerja sebagai pedagang kecil, tukang ojek, atau pekerja harian yang bergantung pada lokasi tempat tinggal mereka.
Relokasi ke rusun yang jauh dari lokasi usaha mereka berpotensi mengganggu mata pencaharian mereka.
Misalnya, seorang pedagang makanan yang sudah memiliki pelanggan tetap di lingkungan lama bisa kehilangan pendapatannya jika harus pindah ke tempat yang belum tentu memiliki pasar yang sama.
Keempat, ketidakbiasaan tinggal di hunian vertikal. Sebagian besar warga yang tinggal di daerah rawan banjir terbiasa dengan rumah tapak.
Mereka merasa canggung atau tidak nyaman dengan kehidupan di rusun yang memiliki aturan tertentu, seperti pembatasan dalam penggunaan ruang bersama, aturan parkir, dan sistem keamanan yang lebih ketat dibandingkan lingkungan rumah tapak.