Oleh : Bilkis Maulidiah
Di era modern saat ini, terutama di kalangan Generasi Z, fenomena meningkatnya sensitivitas terhadap berbagai situasi dan keadaan semakin terlihat nyata. Banyak dari mereka yang cenderung lebih mudah merasa cemas, stres, bahkan mengalami gejala gangguan kesehatan mental. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari berbagai faktor kompleks yang memengaruhi kondisi psikologis mereka, baik dari segi sosial, ekonomi, hingga eksistensial.
Salah satu penyebab utama adalah ketergantungan terhadap media sosial dan teknologi. Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Gen Z. Mereka tumbuh dan berkembang dalam lingkungan digital yang terus terhubung 24 jam. Meskipun teknologi membawa berbagai kemudahan, di sisi lain, penggunaan media sosial yang berlebihan dapat memberikan dampak negatif pada kesehatan mental. Gen Z sering kali merasa tertekan untuk tampil sempurna, membandingkan diri dengan orang lain, dan menghadapi risiko seperti cyberbullying. Tekanan sosial untuk selalu terlihat "bahagia" dan "sukses" membuat mereka kehilangan jati diri, merasa tidak cukup baik, dan pada akhirnya rentan terhadap perasaan rendah diri serta depresi.
Tekanan ini bahkan lebih kompleks ketika menyasar perempuan Gen Z. Mereka tidak hanya harus memenuhi standar keberhasilan secara umum, tetapi juga harus menghadapi standar kecantikan yang tidak realistis dan ekspektasi gender yang masih kerap diskriminatif. Di media sosial, perempuan muda seringkali menjadi sasaran body shaming dan komentar seksis, yang berkontribusi besar terhadap masalah citra tubuh dan penurunan harga diri. Banyak dari mereka merasa tidak cukup "cantik", tidak cukup "kurus", atau tidak cukup "sempurna", padahal nilai seorang perempuan jauh lebih luas dari sekadar penampilan fisik.
Faktor lain yang turut memperburuk kondisi ini adalah tekanan akademik dan karier. Banyak kalangan Gen Z mengaku merasa tertekan oleh tuntutan akademik dan ekspektasi terhadap pencapaian karier. Mereka menghadapi persaingan yang semakin ketat di dunia pendidikan dan pekerjaan, sementara standar keberhasilan yang ditentukan oleh masyarakat seringkali tidak realistis. Perempuan, dalam hal ini, menghadapi tantangan ganda: membuktikan kapabilitas mereka di tengah tuntutan profesional sambil tetap diharapkan memainkan peran domestik. Ketidakseimbangan ini menciptakan beban psikologis yang berat dan berlapis.
Ketidakpastian masa depan juga menjadi momok menakutkan bagi generasi ini. Dalam dunia yang cepat berubah---dengan tantangan seperti perubahan iklim, ketidakstabilan ekonomi, serta konflik sosial dan politik---Gen Z merasa cemas tentang masa depan mereka. Ketidakjelasan ini menciptakan rasa takut dan khawatir yang mendalam, menyebabkan mereka kehilangan arah dan motivasi dalam menjalani hidup.
Dalam jurnal Zulkarnain dan Siti Fatimah (2019) yang berjudul *"Kesehatan Mental dan Kebahagiaan: Tinjauan Psikologi Islam"*, dijelaskan bahwa kesehatan mental adalah bagian penting dari kehidupan manusia dan menjadi salah satu kajian utama dalam psikologi Islam. Mereka menyatakan bahwa "Kesehatan mental sebagai disiplin ilmu yang merupakan bagian dari psikologi Islam, terus berkembang dengan pesat... Tidak jarang dapat membuat sebagian orang yang tidak mampu beradaptasi terhadap kemajuan zaman, maka berakibat pada mereduksi penderitaan gangguan jiwa." Artinya, perubahan sosial yang terlalu cepat bisa membuat individu, khususnya generasi muda, kesulitan beradaptasi dan akhirnya terdampak secara mental.
Gangguan kesehatan mental pada Gen Z tidak hanya berdampak pada kondisi emosional, tetapi juga mengganggu fungsi sosial dan produktivitas mereka. Pikiran seakan berisik karena banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan mental. Mereka sering overthinking terhadap sesuatu yang belum tentu terjadi, yang membuat hati gelisah, tidur tidak nyenyak, dan emosi menjadi tidak stabil. Perasaan takut gagal, takut tidak diterima, hingga takut akan masa depan yang belum pasti menjadi beban yang terus menghantui.
Dalam diam, banyak perempuan Gen Z berperang dengan pikirannya sendiri---perang yang tidak terlihat, namun sangat melelahkan. Mereka menghadapi stigma, tekanan gender, ekspektasi keluarga, dan tekanan sosial dalam satu waktu. Tidak jarang, beban mental ini terbungkus dalam senyum atau unggahan media sosial yang terlihat "baik-baik saja". Namun kenyataannya, banyak dari mereka yang membutuhkan bantuan---bukan hanya untuk bertahan, tetapi untuk tumbuh dan berkembang dengan sehat secara menyeluruh.
Oleh karena itu, kesehatan mental sangatlah penting dan tidak bisa dianggap sepele. Jika tidak ditangani, kondisi ini dapat berimbas pada kualitas hidup dan masa depan mereka secara sosial dan ekonomi. Generasi Z, terutama perempuan, membutuhkan ruang aman untuk berekspresi, serta bimbingan, pemahaman, dan dukungan dari keluarga, pendidik, dan lingkungan sosial. Upaya peningkatan literasi kesehatan mental, penguatan nilai-nilai spiritual, serta pengembangan kemampuan coping yang sehat sangat diperlukan agar mereka bisa tumbuh sebagai generasi yang tangguh dan seimbang, baik secara emosional, sosial, maupun spiritual.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI