Mohon tunggu...
Ahmad Mujahid
Ahmad Mujahid Mohon Tunggu... Read Your Arround

Mahasiswa Psikologi Islam IAIN Surakarta dan Pengurus UKM Lembaga Penelitian Mahasiswa Dinamika

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Syariat Islam sebagai Nilai Universal dalam Bermasyarakat

4 Juli 2019   14:07 Diperbarui: 4 Juli 2019   14:21 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: pastiaswaja.org

  Beberapa kejadian yang mengancam keberadaan Negera Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) salah satunya adalah gerakan untuk mengganti sistem pemerintahan menjadi khilafah dan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD dalam ceramah tabligh akbar Polda Jawa Tengah di halaman parkir Stadion Manahan Solo, Jumat (22/06/2018) malam, menegaskan bahwa Indonesia tidak perlu menjadi negara Islam untuk menegakkan syariat Islam. Menurutnya, ideologi Pancasila dapat berjalan selaras dengan Islam.

Dengan Pancasila, kata dia, kegiatan peribadatan umat Islam sudah dijamin dan dilindungi. Bahkan saat ini Islam berkembang pesat, hingga masuk ke dalam pemerintahan dan perguruan tinggi. Lebih lanjut, Mahfud menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang dibentuk dari berbagai perbedaan. Dengan satu satu keinginan merdeka, Indonesia pun terbentuk dengan semboyan bhinneka tunggal ika. "Maka tidak boleh ada satu golongan merasa paling dominan, paling berkuasa. Ini negara kebersamaan, negara yang dibangun berdasarkan kesepakatan dari berbagai perbedaan karena ingin bersatu," tuturnya (detiknews, 23 Juni 2018).

Islam melalui teladannya Nabi Muhammad SAW memberi banyak contoh dalam hal permasalahan di masyarakat; sengketa sosial, hubungan interpersonal, dan lain sebagainya. Berikut salah satu praktek kepemimpinan Nabi dalam pemerintahan,

Source: republika.co.id
Source: republika.co.id

Zaman Kepemimpinan Rasulullah di Madinah

            Pada zaman nabi, dimulai pada sepanjang periode Madinah, yaitu sejak ikrar Aqabah pertama hingga masa meninggalnya nabi. Beliau pada mulanya dipilih oleh masyarakat Madinah sebagai hakim atau penengah bagi konflik suku Aus dan Khasraj di Madinah yang telah mengalami peperangan dan perang saudara. Penunjukkan tersebut tidak terlepas dari pengaruh Yahudi yang menakuti para Aus dan Khasraj dengan berita akan datangnya seorang nabi baru dari kalangan mereka (Yahudi) dan akan membunuh para orang Arab.

            Sebagai hakim di kalangan Aus dan Khasraj, nabi Muhammad mempersaudarakan kaum Muhajirin dari Mekkah dan Anshar dari penduduk Arab Madinah, serta mengajukan piagam persekutuan bagi masyarakat Yahudi Madinah. Pada masa Nabi Muhammad, pengambilan keputusan banyak dilakukan dengan cara musyawarah, baik itu secara beramai-ramai dalam majelis, seperti misalnya diskusi tentang strategi perang maupun diskusi secara perseorangan antara Umar, Nabi Muhammad, dan Abu Bakar tentang keputusan tawanan perang badar. Dalam diskusi, Nabi sebagai pemimpin begitu terbuka dengan segala pendapat, seperti saat merencanakan perang Khandaq. Pada perang Khandaq, Salman al-Farisy yang berasal dari Persia, mengajukan pendapat untuk membangun parit sebagai perlindungan dalam perang. Walaupun pendapat tersebut bertentangan dengan strategi dan pendapat yang dimiliki nabi, tetapi nabi menerima hal tersebut dengan lapang dada, dan tentu saja usulan tersebut dieksekusi. Selain itu, pada masa Nabi juga terdapat rasa kesetaraan atau tidak memandang orang dari kesukuannya maupun dari warna kulitnya.

            Fakta sejarah tersebut dapat menjawab bahwa, walaupun konsep Demokrasi bukan berasal dari ajaran Islam, baik secara istilah yang berasal dari Yunani maupun konsep demokrasi masa kini yang dikembangkan oleh ilmuan dan filsuf barat, namun prinsip demokrasi sudah diterapkan pada masa pemerintahan Nabi Muhammad SAW seperti, keterbukaan dalam berpendapat dan kesetaraan semua rakyat dihadapan pemimpin. Kemudian pada masa sahabat, sistem semakin berkembang pesat terutama masa Umar Bin Khattab, bahkan Khulafaur Rasyidin bisa dikatakan pemerintah Republik karena pemimpin dipilih oleh rakyat dan bukan berdasarkan keturunan darah, walaupun pada sistem musyawarahnya memiliki bermacam bentuk; secara aklamasi maupun musyawarah melalui dewan-dewan.

Konsep praktek syariat Islam yang pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, baik secara langsung (perilaku) maupun tidak langsung (non verbal) juga tidak inklusif terhadap ajaran nenek moyang maupun kepercayaan lokal, karena pada dasarnya Islam hadir sebagai penyempurna dari agama langit (samawiyah). Dalam Kalam Allah SWT berikut,

"Dan Kami tidak mengutusmu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. " (QS. Saba'/34: 28)

            Islam yang dibawa satu rasul berbeda dengan yang dibawa rasul lainnya, dalam hal keluasan dan keuniversalannya. Namun secara substansi dan prinsip tetap sama. Islam yang dibawa Nabi Musa a.s lebih luas dibandingkan yang dibawa Nabi Nuh a.s. Karena itu, tak heran jika Al-Qur'an menjelaskan tentang Taurat. Dalam Q.S. Al-A'raf/7:145. "Dan telah Kami tuliskan untuk Musa di Luh-luh (Taurat) tentang segala sesuatu sebagai peringatan dan penjelasan bagi segala sesuatunya....".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun