Mohon tunggu...
bilal hafizd
bilal hafizd Mohon Tunggu... Pegawai swasta

43120010419 - S1 manajemen - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB - Dosen pengampu Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Repleksi Kritis Pendidikan Anti korupsi Di Indonesia

8 Juli 2025   09:11 Diperbarui: 8 Juli 2025   09:11 1079
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Paideia "Era Modern" dalam Pendidikan Anti-Korupsi: Integrasi Rasionalitas, Etika, dan Tanggung Jawab Publik
Pendidikan anti-korupsi dalam era modern tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan normatif yang menekankan larangan dan hukuman. Dibutuhkan suatu paradigma pendidikan yang mampu membentuk karakter moral, kesadaran rasional, dan komitmen etis secara menyeluruh. Di sinilah relevansi konsep Paideia muncul kembali dalam kerangka pemikiran modern. 
Paideia sebagai proses pembentukan manusia utuh---rasional, bertanggung jawab, dan etis---berperan penting dalam menanggulangi akar moral dari praktik korupsi.
1. Kerangka Dasar: Rasionalisme, Humanisme, dan Otonomi
Pendidikan dalam paradigma Paideia era modern dibangun di atas fondasi rasionalisme, empirisisme, dan humanisme sekuler. Tujuannya adalah membentuk individu rasional dan otonom. Kurikulum anti-korupsi dalam konteks ini berlandaskan pada etika rasional, logika deduktif, dan nilai hak asasi manusia (HAM).
Implikasi dari kerangka ini sangat besar terhadap sistem pendidikan. Peserta didik tidak hanya diajarkan bahwa korupsi itu salah, tetapi mereka dibekali alat nalar dan prinsip universal untuk memahami mengapa tindakan korupsi bertentangan dengan keadilan dan kebaikan bersama. Hal ini membangun sikap anti-korupsi dari dalam, bukan sekadar sebagai kepatuhan terhadap aturan eksternal.
2. Konsep Manusia: Agen Moral yang Rasional
Dalam kerangka Paideia, manusia dipandang sebagai agen moral yang rasional, yang bebas memilih dan bertanggung jawab atas tindakannya. Pendidikan diarahkan untuk melatih mahasiswa menjadi individu yang mampu mengambil keputusan etis secara mandiri.
Mahasiswa diajak untuk memahami konsekuensi logis dan moral dari setiap pilihan hidupnya. Mereka tidak diarahkan untuk sekadar mengikuti otoritas, melainkan didorong untuk mempertanyakan, menganalisis, dan menginternalisasi nilai-nilai kejujuran dan keadilan sebagai bagian dari integritas pribadi.
3. Penyebab Korupsi: Lemahnya Rasionalitas Moral dan Budaya Permisif
Korupsi dalam konteks Paideia era modern dipahami sebagai akibat dari kurangnya rasionalitas moral, rendahnya kontrol sosial dan hukum, serta budaya permisif yang berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan tidak hanya membahas hukum secara normatif, tetapi membangun pemahaman etis sejak dini.
Melalui diskusi tentang dilema etis, pertimbangan moral, dan logika keadilan, mahasiswa diarahkan untuk mengenali situasi koruptif dan mengembangkan sensitivitas terhadap bentuk-bentuk penyimpangan integritas. Mereka diajarkan untuk tidak hanya taat hukum, tetapi juga menghidupi nilai hukum secara sadar dan otonom.
4. Tujuan Paideia: Membangun Warga Negara yang Rasional dan Bertanggung Jawab
Paideia bertujuan membentuk warga negara yang rasional, etis, sadar hukum, dan bertanggung jawab terhadap kepentingan publik. Pendidikan tidak hanya melahirkan profesional yang kompeten, tetapi juga intelektual publik yang memiliki kepedulian terhadap nasib masyarakat.
Model pendidikan ini menempatkan civic education bukan sekadar sebagai mata kuliah formal, tetapi sebagai sarana pembentukan karakter kewargaan. Mahasiswa dilatih untuk memahami etika publik, pentingnya transparansi, dan kesetiaan pada konstitusi sebagai wujud pengabdian etis kepada masyarakat.
5. Fokus Pendidikan: Penalaran Moral dan Tanggung Jawab Sipil
Fokus utama dari pendidikan anti-korupsi adalah pengembangan penalaran moral, analisis etika, pemahaman sistem hukum, dan tanggung jawab sipil. Hal ini menunjukkan bahwa anti-korupsi tidak bisa dilepaskan dari pemahaman sistemik atas struktur sosial dan norma hukum yang mengaturnya.
Mahasiswa dibekali kemampuan untuk berpikir reflektif dalam menghadapi realitas sosial yang kompleks. Dalam kelas, mereka tidak sekadar menghafal teori, tetapi diminta untuk menganalisis praktik hukum dan peraturan dengan mempertanyakan nilai moral di baliknya.

6. Metode Pendidikan: Diskusi Kritis dan Simulasi Etis
Metode pendidikan dalam Paideia modern menekankan diskusi kritis, studi kasus, simulasi etis, debat terbuka, serta pendekatan penalaran ilmiah (scientific reasoning). Hal ini berbeda dengan metode doktrinal yang hanya mentransfer pengetahuan.
Simulasi etis dan studi kasus memberikan pengalaman langsung kepada mahasiswa untuk menjelajahi dilema etika dan mengambil keputusan yang bertanggung jawab. Metode ini mengembangkan keterampilan moral reasoning, empati, dan kemampuan menghadapi tekanan sosial yang kerap melatarbelakangi tindakan koruptif.

7. Strategi Anti-Korupsi: Sistemik dan Kolaboratif
Strategi pendidikan anti-korupsi modern bersifat sistemik dan kolaboratif. Ini melibatkan penguatan institusi hukum, pendidikan integritas, sistem audit dan transparansi, serta kontrol sosial. Pendidikan bekerja sama dengan lembaga penegak hukum, media, dan LSM untuk menciptakan ekosistem anti-korupsi.
Literasi hukum dan etika disebarkan melalui reward-punishment system, pelatihan keterbukaan, dan publikasi nilai-nilai integritas. Mahasiswa dilatih untuk mengenali bentuk-bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan dilibatkan dalam kegiatan sosial yang mendidik rasa keadilan.

8. Peran Guru: Fasilitator Etis, Bukan Dogmatis
Dalam pendekatan Paideia modern, guru tidak diposisikan sebagai otoritas moral yang dogmatis, melainkan fasilitator rasional dan pemicu kesadaran etis. Guru mendampingi mahasiswa untuk berpikir mandiri, berargumen secara etis, dan berdialog tanpa takut salah.
Pendidik menjadi contoh keteladanan moral, bukan hanya penyampai materi. Dengan begitu, guru memainkan peran penting dalam menumbuhkan iklim intelektual dan etis di ruang kelas. Proses pendidikan menjadi arena dialog yang saling membangun antara dosen dan mahasiswa.

9. Konsep Integritas: Konsistensi Moral Internal dan Eksternal
Konsep integritas dalam kerangka Paideia era modern dipahami sebagai konsistensi antara nilai moral yang diyakini (internal) dengan tindakan nyata (eksternal). Integritas tidak sebatas deklarasi nilai, tetapi juga pembuktian konkret dalam perilaku sehari-hari.

Evaluasi pendidikan tidak hanya dilakukan melalui ujian tertulis, tetapi juga melalui proyek etis (ethical projects), refleksi pribadi, dan penilaian terhadap akuntabilitas sosial mahasiswa. Hal ini mendorong peserta didik untuk mempraktikkan nilai-nilai anti-korupsi dalam kehidupan kampus.

https://fast.mercubuana.ac.id/pluginfile.php
https://fast.mercubuana.ac.id/pluginfile.php


Model Paideia Era Pasca-Modern pada Pendidikan Anti-Korupsi
Model pendidikan anti-korupsi dalam era pasca-modern menghadirkan pendekatan yang berbeda dari era modern. Jika era modern menekankan rasionalitas, universalitas etika, dan pembentukan karakter berdasarkan prinsip-prinsip logika dan hukum umum, maka era pasca-modern membawa nuansa pluralisme nilai, kritik terhadap narasi besar, serta otonomi interpretatif individu. Dalam konteks ini, pendidikan anti-korupsi tidak lagi sekadar menyampaikan norma-norma tetap, tetapi menjadi ruang dialektika yang membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam memahami dan melawan korupsi.
Kerangka Dasar: Relativisme, Pluralisme, dan Kritik terhadap Kebenaran Tunggal
Era pasca-modern ditandai dengan keraguan terhadap kebenaran tunggal dan penolakan terhadap metanarasi (narasi besar) yang bersifat hegemonik. Pendidikan anti-korupsi tidak lagi dipusatkan pada satu kerangka etika dominan, melainkan pada keragaman perspektif yang memungkinkan penafsiran ulang terhadap nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan.
Implikasinya, kurikulum anti-korupsi tidak bersifat dogmatis, melainkan bersifat inklusif dan reflektif, yang mengakui bahwa setiap kelompok budaya dan identitas memiliki cara sendiri dalam memahami dan memerangi korupsi. Dalam konteks ini, pendidikan menjadi sarana untuk mendengar suara marjinal dan memberi ruang bagi perspektif alternatif terhadap ketidakadilan sosial dan moral.

Konsep Manusia: Subjek yang Terbentuk melalui Wacana
Dalam pendekatan pasca-modern, manusia tidak dilihat sebagai agen rasional otonom semata, tetapi sebagai subjek yang dibentuk oleh wacana sosial, bahasa, dan kekuasaan. Identitas moral bukanlah sesuatu yang universal, tetapi hasil dari interaksi sosial yang kompleks dan dinamis.
Pendidikan anti-korupsi dalam konteks ini bertugas membongkar konstruksi sosial yang melanggengkan korupsi melalui bahasa, budaya, dan ideologi. Mahasiswa diajak untuk memahami bagaimana praktik koruptif dapat tersembunyi dalam narasi-narasi resmi, struktur institusi, dan bahasa sehari-hari.

Penyebab Korupsi: Reproduksi Kekuasaan dan Normalisasi Ketimpangan
Pasca-modernisme menyoroti bagaimana korupsi menjadi bagian dari struktur kekuasaan yang seringkali tersembunyi di balik prosedur formal dan simbol hukum. Korupsi tidak hanya dipahami sebagai pelanggaran hukum, tetapi juga sebagai bentuk dominasi, penindasan, dan hegemonik budaya elit.

Dalam pendidikan, mahasiswa didorong untuk mengkritisi bagaimana korupsi direproduksi melalui praktik-praktik birokrasi, ekonomi, politik, bahkan media. Mereka juga diajak untuk menganalisis bagaimana budaya permisif terhadap penyimpangan dibentuk oleh kekuasaan simbolik.
Tujuan Paideia: Membuka Kesadaran Kritis dan Ruang Dialogis
Tujuan pendidikan anti-korupsi dalam era pasca-modern adalah membangkitkan kesadaran kritis, bukan sekadar menanamkan nilai. Pendidikan harus menjadi ruang dialogis di mana mahasiswa bisa mempertanyakan norma yang berlaku, termasuk norma antikorupsi itu sendiri jika dinilai bersifat eksklusif atau menindas.
Paideia dalam konteks ini bukan proses penyeragaman karakter, melainkan proses emansipasi pikiran, agar mahasiswa memiliki kebebasan berpikir dan bertindak secara etis sesuai konteks hidupnya masing-masing.
Fokus Pendidikan: Kesadaran Emansipatoris dan Kritik Sosial
Fokus pendidikan bergeser dari sekadar penalaran moral menuju pembentukan kesadaran emansipatoris. Mahasiswa tidak hanya belajar apa itu korupsi, tetapi juga mengapa sistem sosial membiarkannya, siapa yang diuntungkan, dan bagaimana cara menantangnya.
Pendidikan anti-korupsi difokuskan pada analisis diskursif, pembongkaran narasi institusional, dan pengembangan sikap etis yang kontekstual. Dalam hal ini, teori-teori kritis seperti post-structuralism, feminisme, dan post-colonialism menjadi bagian dari pendekatan pedagogis.
Metode Pendidikan: Interogasi Narasi, Dekonstruksi, dan Proyek Kultural
Metode pendidikan dalam Paideia pasca-modern menolak pendekatan satu arah. Sebagai gantinya, digunakan metode interogasi naratif, dekonstruksi teks, dan pengembangan proyek kultural yang mengaitkan nilai-nilai anti-korupsi dengan konteks budaya lokal.

Mahasiswa dilibatkan dalam kegiatan seperti:
*Analisis media terhadap representasi korupsi;
*Proyek seni dan sastra yang mengekspresikan keprihatinan etis;
*Diskusi kritis atas kebijakan publik yang dianggap koruptif atau bias.
Strategi Anti-Korupsi: Advokasi Sosial dan Rekonstruksi Wacana
Strategi anti-korupsi dalam model ini menekankan advokasi sosial, rekonstruksi wacana, dan pemberdayaan komunitas. Korupsi tidak hanya dihadapi di ruang hukum, tetapi juga di ruang budaya dan simbolik. Oleh karena itu, mahasiswa dilatih menjadi agen transformasi sosial melalui aksi kreatif dan resistensi simbolik.
Pendidikan mendorong keterlibatan mahasiswa dalam kampanye sosial, forum warga, dan kerja-kerja budaya yang menantang normalisasi penyimpangan. Dalam hal ini, perlawanan terhadap korupsi tidak hanya bersifat legal, tetapi juga simbolik dan budaya.
Peran Guru: Fasilitator Dialog dan Penjaga Ruang Aman
Guru dalam pendekatan pasca-modern bertindak sebagai fasilitator dialog dan penjaga ruang aman. Guru tidak menjadi pusat kebenaran, melainkan mediator antara berbagai perspektif yang tumbuh dalam ruang kelas.
Peran pendidik adalah menciptakan ruang pembelajaran yang demokratis, di mana mahasiswa bebas mengungkapkan opini, menantang otoritas, dan mengeksplorasi nilai-nilai personal. Guru memberi dukungan untuk refleksi kritis, bukan memaksakan nilai tertentu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun